Selasa, 17 Februari 2015

Talaqqi Rukbaan dan Ahlul Hadhoro dan ikhtikar Makalah hadist hadit ekonomi

Hadist-Hadist tentang Penetapan dan
Upaya Melambungkan Harga
                        
1.    Talaqqi Rukbaan dan Ahlul Hadhoro
a.    Hadist

وَ عَنْ طَا وُ سٍ عَنِ ا بْنِ عَبَّا سٍ قَا ل : قَا لَ رَ ثُوْ لُ ا للهِ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ تَلَقُّ ا ا لرُّ كْبَا نَ ، وَ لاَيَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ، قُلْتُ لاِ بْنِ عَبَّا سٍ : مَا قَوْ لُهُ : وَلاَ يَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَدٍ ؟ قَا لَ : لاَ يَكُوْ نُ لَهُ سِمْسَا رٌ ا . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ يَّ .
b.   Sanad Hadis

وَ عَنْ طَا وُ سٍ عَنِ ا بْنِ عَبَّا سٍ
c.    Matan Hadist

: قَا لَ رَ ثُوْ لُ ا للهِ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ تَلَقُّ ا ا لرُّ كْبَا نَ ، وَ لاَيَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ، قُلْتُ لاِ بْنِ عَبَّا سٍ : مَا قَوْ لُهُ : وَلاَ يَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَدٍ ؟ قَا لَ : لاَ يَكُوْ نُ لَهُ سِمْسَا رٌ ا . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ يَّ .
d.   Perawi Hadist

مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ يَّ .
e.    Diriwayatkan dari Thawus dari Ibnu Abbas

f.     Terjemahan Hadist
Dari Thawus dari Ibnu Abbas, dia berkata, “ Rasululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kamu mengahadang rombongan (pedagang) di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangan mereka sebelum sampai pasar) dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung‘. “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas,“apa maksud sabda beliau, “dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung?” Ibnu Abbas menjawab, “ Janganlah dia menjadi makelar untuknya.“ (Muttafaq Alaih, dan lafazhnya adalah lafazh Al-Bukhari) [[1]]
g.    Pemahaman Isi Hadist
Hadis ini mencakup dua bentuk transaksi jual beli yang dilarang :
1)        Larangan talaqqi rukbaan (menghadang rombongan ) yakni rombongan pedagang atau orang yang membawa bahan makanan ke suatu negeri untuk di jual, baik berkendaraan ataupun berjalan kaki, baik beramai – ramai atau pun sendirian. Dalam hadis di sebutkan yang umum, karena umumnya pedagang itu berombongan. Transaksi di anggap talaqqi rukban jika terjadi luar pasar. Dalam hadis ibnu umar radhiyallahu anhu disebutkan,
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ
سُوقُ الطَّعَامِ
Dulu kami pernah menghadang  para( pedagang), lalu kami membeli makanan dari mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana.
Hadis ini menunjukkan bahwa pergi ke pasar tidak termasuk kategori talaqqi rukban dan batasan kategori adalah apabila menghadangnya di luar pasar. Al-Hadawiyah dan Asy-Syafi;iyah mengatakan, tidak dikategorikan talaqqi rukbaan kecuali bila dia menghadangnya di luar kota. Al-Malikiyah, Imam Ahmad dan Ishaq meng-kategorikan talaqqi rukbaan jika terjadi di luar pasar secara mutlak berdasarkan zhahir hadist.
2)        Larangan talaqqi rukban menunjukkan perbuatan itu haram, karena orang yang melakukannya memang sengaja bermaksud menghadang rombongan dagang dan tahu kalau hal itu dilarang. Abu Hanifah dan Al-auza’i membolehkan melakukan hal itu selagi tidak merugikan masyarakat, bila merugikan maka hal tersebut makruh. Dan apabila dilakukan juga, maka menurut Al-hadawiyah dan As-syafi’iyah transaksi itu tetap sah. Dan Imam Asy-syafi’i memberikan hak pilih bagi si penjual, berdasarkan hadist yang dikeluarkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, yaitu Hadist Abu Hurairah dengan lafazh,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ فَاءِ نْ تَلَقَّا هُ اءِ نْسَا نٌ فَا شْتَرَاهُ فَصَا حِبُهُ بِا لْخِيَا رِ اءِذَ اءَتَى ا اسُّوْقَ.                 
“Janganlah kalian menghadang rombongan pedagang, apabila seseorang menghadangnya kemudian membeli sesuatau darinya, maka pedagang mempunyai hak (khiyar) bila tiba di pasar” [[2]]
Zhahir hadist menunjukkan bahwa illat (alasan) dilarangnya hal tersebut adalah untuk kemaslahatan penjual dan menghindarinya dari kerugian. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi tersebut rusak, tidak sah. Karena larangan secara mutlak menunjukkan tidak sahnya transaksi tersebut. Inilah pendapat yang mendekati kebenaran. Sebagian Ulama menjadikan talaqqi rukbaan haram dengan beberapa syarat di antaranya :
a)        Haram jika orang yang menghadang berbohong mengenai harga yang berlaku di kota hingga dia membeli dari rombongan penjual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga semestinya.
b)        Haram jika si pembeli mengabari rombongan itu bahwa untuk bisa masuk pasar diperlukan biaya yang besar.
c)        Haram apabila si pembeli menipu mereka dengan mengatakan bahwa dagangan mereka tidak akan laku. Semua yarat yang disebutkan tidak dilandasi satu dalilpun, justru hadist tersebut berbicara mutlak dan hukumnya asli haram.
3)        Larangan Ahlul Hadhoro yakni melakukan transaksi seperti yang di sabdakan Rasulullah, “dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung”, Ibnu Abbas Menafsirkan dengan perkataanya,”Janganlah dia menjadi makelar untuknya,” Kata makelar (simsar) asal maknanya adalah orang menilai suatu urusan dan mengawasinnya, kemidian dikenal dengan istilah perantara jual beli bagi orang lain dengan upah sebagai imbalan. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “Orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung” adalah transaksi dimana seorang asing datang ke suatu daerah dengan membawa barang dagangan yang hendak dijual dengan harga pasaran pada saat itu juga. Kemudian datang orang kota kepadanya dan berkata,”tinggalkan daganganmu pada saya, saya jualkan untukmu secara berangsur dengan harga lebih mahal dari harga sekarang”. Adapun orang desa yang tahu harga, maka tidak termasuk dalam kriteria ini.
4)        Larangan Ahluh Hadhoro menunjukkan perbuatan itu haram.[[3]] Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pertimbangan larangan, menghadang orang desa (transaksi talaqqi rukbaan) adalah agar mereka tidak tertipu, sedangkan pertimbangan larangan bagi orang kota untuk menjualkan barang dagangan orang desa (sebagai calo) adalah bentuk keberpihakan terhadap penduduk kota (agar calo tidak menjual barang dagangan dengan harga mahal –edt.)
5)        Ada dua pertimbangan agar orang kampung tidak tertipu dan agar orang kota juga tidak tertipu. Kalau diperhatikan di sini terdapat kontradiksi. Jawabannya adalah bahwa syariat memperhatikan kepentingan orang banyak dan mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan individu, bukan justru sebaliknya, mengedepankan kepentingan individu daripada kepentingan publik. Dikarenakan apabila orang desa menjual barang dagangannya sendiri, maka semua pelaku pasar akan mendapatkan manfaat, mereka bisa membeli barang dengan harga relatif murah dan semua penduduk pun akan mendapatkan manfaat. Disni syariat mengedepankan kepentingan penduduk daripada kepentingan orang kampung. Dan dikarenakan pada transaksi talaqqi rukbaan (menghadang rombongan pedagang dari kampung) terdapat maslahat individu, ditambahkan lagi alasan kedua berupa adanya kemudharatan bagi pelaku pasar disebabkan orang yang menghadap rombongan pedagang dari kampung itu dapat menjual barang dengan harga lebih murah dari yang lainnya. Sehingga dapat memutus sumber pencarian pedagang lain yang jumlahnya lebih banyak, maka syariat lebih mengedepankan pelaku pasar daripada pihak si penghadang tersebut. Dengan demikian tidak ada kontradiksi pada kedua masalah ini. Justru keduanya tepat dalam segi hikmah.
h.   Sebab Dilarangnya Talaqqi rukban dan Ahlul Hadhoro
Sebab dilarangnya talaqqi rukban dan Ahlul Hadhoro karena orang luar memanfaatkan ketidaktahuan Orang desa mengenai harga barang yang akan dijual. Mereka menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya. Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dari harga normal jika ia berjualan di pasar itu sendiri. [[4]] Rasulullah melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga.
i.      Hikmah di Balik Larangan Talaqqi Rukban dan Ahlul Hadhoro
Hikmah dilarangnya talaqqi ar-rukban dan Ahlul Hadhoro adalah pertama agar tidak memperdaya para pembawa barang, karena mayoritas mereka tidak tahu harga barang di negeri itu. Dan mayoritas mereka menjatuhkan harga yang lebih murah, kedua agar perbuatan ini tidak menimbulkan kesempitan atas orang yang ada di pasar.
j.      Piqhul Hadist
      Rasulullah Salaullahu Alaihi wa Sallam melarang Talaqqi rukbaan dan Ahlul Hadhoro
k.   Kesimpulan Hadist
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa: Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari). Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.[[5]]
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.[[6]]
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo atau perantara untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Jika orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung berupa barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak di pastikan akan terjadi permainan harga yang akan menyebabkan barang tersebut naik. Sehingga para pembeli akan kesulitan untuk membeli barang yang mereka butuhkan.

2.    Ihtikar
a.    Hadist
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه  مسلم][7][

b.   Sanad Hadist
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ- قَالَ كَان سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ

c.    Matan Hadist
قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.
d.   Perawi Hadist : (HR. Muslim)
e.    Diriwayatkan dari :
Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar.
f.     Terjemahan Hadist
Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar.
g.    Biografi Perawi
Ma’mar bin Abi Ma’mar adalah salah seorang sahabat Nabi yang masuk Islam lebih dulu dan pernah mengikuti Rasulullah saw hijrah ke Habasyah. Beliau terlambat Hijrahnya ke Madinah, dan pada akhirnya beliau hijrah dan menetap di Madinah bersama Nabi. Menurut Abu Isa, hadits ini dikatakan sebagai hadits hasan dan sohih. Sedangkan menurut imam Albany hadits ini dikatakan hadits sohih.
h.   Pemahaman Isi Hadist
1)   Barang siapa yang membeli bahan makanan dan menahannya agar sedikit / berkurang dan mahal harganya (maka ia berdosa). Jual beli dengan ihtikar yaitu membeli sesuatu untuk ditimbun, dengan tujuan supaya tidak banyak jumlahnya di pasaran sehingga harganya naik. Tindakan seperti ini jelas membahayakan masyarakat.[[8]] Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Pengertian ihtikar dalam tinjauan fiqih adalah penahanan atau penimbunan atas suatu barang dagangan dengan tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal ketika kebutuhan meningkat. Hal ini berdasarkan keterangan yang tercantum dalam kitab ‘Umdatul Qori yang menjadi syarah atas kitab Shohih Bukhori. [[9]]
2)   Berdasarkan keterangan dalam kitab Badrul Munir, mengutip yang disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu Musayyab menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah melakukan penahanan atas barang berupa minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya melakukan penahanan atas beberapa komoditas yakni minyak, biji gandum dan sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang dilakukan Sa’id adalah melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan rempah-rempah. Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id dan Ma’mar keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua beranggapan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan atas barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain seperti minyak, biji kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan merupakan kebutuhan pokok. [[10]]
3)   Imam Hanafi menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk, yang diperlukan masyarakat. Imam asy-Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muitakir (pelaku ihtikar) menyimpan barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Ulama Hanabilah dan Imam al-Gazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka adalah yang dilarang dalam nashsh (ayat atau hadis) hanyalah makanan.
4)   Ikhtikar dilarang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai." (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya disini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Jelas ihtikar dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah
i.      Hukum Melaksanakan Praktek Ikhtikar
1)   Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:   
    مَنِ احْتَكَرَ فَهُ خَاطِئٌ        
 Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun. [[11]]
3) Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ    
هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ

 Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4)   Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5)   Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8).
j.     Piqhul Hadist
Rasulullah Salaullahu Alaihi wa Sallam melarang Praktek Ikhtikar
k.   Hikmah di Balik Larangan Ihtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum [[12]], oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam[[13]]. Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35 yang artinya : Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat. Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.[[14]]
l.      Kesimpulan Hadist
a)      ihtikar adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh pedagang untuk menahan barang dagangnnya dengan tujuan akan dijual kembali ketika kebutuhan meningkat dan terjadi lonjakan harga.
b)      Hadits-hadits tentang larangan ihtikar masih bersifat umum, tidak secara spesifik menyebutkan ketentuan apa saja barang yang dilarang ditimbun.
c)      Bila membandingkan dengan  beberapa hadits pendukung lain yang meskipun masuk sebagai kategori hadits dlo’if kebanyakan ulama’ sependapat bahwa hukum haram praktek ihtikar (monopoli) hanya berlaku pada makanan saja, meskipun begitu ada juga ulama yang berpendapat bahwa ihtikar dihukumi haram secara mutlak.
d)     Islam sangat mengecam adanya praktek ihtikar karena dapat meresahkan masyarakat.



[1] Hadist ini shahih , al-bukhari (2158) , dan muslim (1521)
[2] Hadist ini shahih, Shahih Abu Dawud (3437)
[3] Hadist ini shahih , Muslim (2162)
[4] (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805)
[5] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an Talaqqy ar-Rukban, No hadits 2162 hlm 38.
[6]  http://www.pendidikanekonomi.com/2012/10/studi-kasus-fiqh-muamalah.html
[7] Muslim, Abu Al-Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al-Nasisabury, Al-Jami’ Al-Shohih Al-Musamma Shahih Muslim Juz 5, Beirut, Darul Jayl, hlm. 56
[8] Mesir (atau juga negeri lain-pent) sering kali mengalami krisis dengan melonjaknya harga barang-barang gara-gara ikhtikar ini. Lain dari itu ikhtikar juga semakin banyak menambah negara. Padahal andaikan orang mengerti ajaran islam dengan baik, dan andaikan media-media penerangan menerangkan betapa islam melanggar perbuatan ikhtikar, ketimbang digunakan untuk memutar filem-filem yang hanya membuang-buang biaya saja, tentu ikhtikar yang keji itu takkan terjadis
[9] Syekh Badruddin Al-‘Ayny Al-Hanafy, ‘Umdatul Qori Syarh Sohih Bukhori Juz 17, hlm. 436
[10] . Ibnu Al-Mulqin Sirojuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii Al-Misry, Al-Badrul Munir fi Takhriji Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi Syarhi Al-Kabir Juz 6, Riyad, Darul Hijrah, 2004, hlm.504
[11] Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj Juz 6, hlm. 397
[12] (Syarh Shahih Muslim, 11: 43).
[13] Ibnu Al-Mulqin Sirojuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii Al-Misry, Al-Badrul Munir fi Takhriji Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi Syarhi Al-Kabir Juz 6, Riyad, Darul Hijrah, 2004, hlm.504
[14] Nasrun Haroen Fiqh Muamalah, (Jakarta.Gaya Media Prartama, 2000, hal. 58).

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar