Hadist-Hadist
tentang Penetapan dan
Upaya
Melambungkan Harga
1.
Talaqqi
Rukbaan dan Ahlul Hadhoro
a.
Hadist
وَ عَنْ طَا وُ سٍ عَنِ ا بْنِ عَبَّا سٍ قَا ل : قَا لَ
رَ ثُوْ لُ ا للهِ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ تَلَقُّ ا ا لرُّ
كْبَا نَ ، وَ لاَيَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ، قُلْتُ لاِ بْنِ عَبَّا سٍ : مَا
قَوْ لُهُ : وَلاَ يَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَدٍ ؟ قَا لَ : لاَ يَكُوْ نُ لَهُ
سِمْسَا رٌ ا . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ يَّ .
b.
Sanad
Hadis
وَ عَنْ طَا وُ سٍ عَنِ ا بْنِ عَبَّا سٍ
c.
Matan
Hadist
: قَا لَ رَ
ثُوْ لُ ا للهِ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ تَلَقُّ ا ا لرُّ كْبَا
نَ ، وَ لاَيَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ، قُلْتُ لاِ بْنِ عَبَّا سٍ : مَا قَوْ
لُهُ : وَلاَ يَبِيْعُ حَا ضِرٌ لِبَدٍ ؟ قَا لَ : لاَ يَكُوْ نُ لَهُ سِمْسَا رٌ
ا . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ يَّ .
d.
Perawi
Hadist
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَا للَّفْظُ لِلْبُخَا رِ يَّ .
e.
Diriwayatkan
dari Thawus dari Ibnu Abbas
f.
Terjemahan
Hadist
Dari Thawus dari Ibnu Abbas, dia berkata, “
Rasululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kamu mengahadang
rombongan (pedagang) di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangan mereka
sebelum sampai pasar) dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang
kampung‘. “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas,“apa maksud sabda beliau, “dan
janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung?” Ibnu Abbas
menjawab, “ Janganlah dia menjadi makelar untuknya.“ (Muttafaq Alaih, dan
lafazhnya adalah lafazh Al-Bukhari) [[1]]
g.
Pemahaman
Isi Hadist
Hadis ini mencakup dua bentuk transaksi jual beli yang dilarang :
1)
Larangan talaqqi rukbaan (menghadang rombongan ) yakni rombongan pedagang atau orang yang membawa
bahan makanan ke suatu negeri untuk di jual, baik berkendaraan ataupun berjalan
kaki, baik beramai – ramai atau pun sendirian. Dalam hadis di sebutkan yang
umum, karena umumnya pedagang itu berombongan. Transaksi di anggap talaqqi
rukban jika terjadi luar pasar. Dalam hadis ibnu umar radhiyallahu anhu
disebutkan,
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ،
فَنَهَانَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ
بِهِ
سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami pernah menghadang para( pedagang), lalu kami membeli makanan dari
mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melakukan jual
beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di
sana.
Hadis ini menunjukkan bahwa pergi ke pasar
tidak termasuk kategori talaqqi rukban dan batasan kategori adalah apabila
menghadangnya di luar pasar. Al-Hadawiyah dan Asy-Syafi;iyah mengatakan, tidak
dikategorikan talaqqi rukbaan kecuali bila dia menghadangnya di luar kota.
Al-Malikiyah, Imam Ahmad dan Ishaq meng-kategorikan talaqqi rukbaan jika
terjadi di luar pasar secara mutlak berdasarkan zhahir hadist.
2)
Larangan talaqqi rukban menunjukkan perbuatan
itu haram, karena orang yang melakukannya memang sengaja bermaksud menghadang
rombongan dagang dan tahu kalau hal itu dilarang. Abu Hanifah dan Al-auza’i
membolehkan melakukan hal itu selagi tidak merugikan masyarakat, bila merugikan
maka hal tersebut makruh. Dan apabila dilakukan juga, maka menurut Al-hadawiyah
dan As-syafi’iyah transaksi itu tetap sah. Dan Imam Asy-syafi’i memberikan hak
pilih bagi si penjual, berdasarkan hadist yang dikeluarkan Abu Dawud dan
At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, yaitu Hadist Abu Hurairah
dengan lafazh,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ فَاءِ نْ تَلَقَّا هُ اءِ نْسَا نٌ فَا
شْتَرَاهُ فَصَا حِبُهُ بِا لْخِيَا رِ اءِذَ اءَتَى ا اسُّوْقَ.
“Janganlah kalian
menghadang rombongan pedagang, apabila seseorang menghadangnya kemudian membeli
sesuatau darinya, maka pedagang mempunyai hak (khiyar) bila tiba di pasar” [[2]]
Zhahir hadist menunjukkan bahwa
illat (alasan) dilarangnya hal tersebut adalah untuk kemaslahatan penjual dan
menghindarinya dari kerugian. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi
tersebut rusak, tidak sah. Karena larangan secara mutlak menunjukkan tidak
sahnya transaksi tersebut. Inilah pendapat yang mendekati kebenaran. Sebagian
Ulama menjadikan talaqqi rukbaan haram dengan beberapa syarat di
antaranya :
a)
Haram
jika orang yang menghadang berbohong mengenai harga yang berlaku di kota hingga
dia membeli dari rombongan penjual dengan harga yang jauh lebih murah dari
harga semestinya.
b)
Haram
jika si pembeli mengabari rombongan itu bahwa untuk bisa masuk pasar diperlukan
biaya yang besar.
c)
Haram
apabila si pembeli menipu mereka dengan mengatakan bahwa dagangan mereka tidak
akan laku. Semua yarat yang disebutkan tidak dilandasi satu dalilpun, justru
hadist tersebut berbicara mutlak dan hukumnya asli haram.
3)
Larangan
Ahlul Hadhoro yakni melakukan transaksi seperti yang di sabdakan Rasulullah, “dan
janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung”, Ibnu Abbas
Menafsirkan dengan perkataanya,”Janganlah dia menjadi makelar untuknya,” Kata
makelar (simsar) asal maknanya adalah orang menilai suatu urusan dan
mengawasinnya, kemidian dikenal dengan istilah perantara jual beli bagi orang
lain dengan upah sebagai imbalan. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan “Orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung”
adalah transaksi dimana seorang asing datang ke suatu daerah dengan membawa
barang dagangan yang hendak dijual dengan harga pasaran pada saat itu juga.
Kemudian datang orang kota kepadanya dan berkata,”tinggalkan daganganmu pada
saya, saya jualkan untukmu secara berangsur dengan harga lebih mahal dari harga
sekarang”. Adapun orang desa yang tahu harga, maka tidak termasuk dalam
kriteria ini.
4)
Larangan
Ahluh Hadhoro menunjukkan perbuatan itu haram.[[3]] Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pertimbangan
larangan, menghadang orang desa (transaksi talaqqi rukbaan) adalah agar
mereka tidak tertipu, sedangkan pertimbangan larangan bagi orang kota untuk
menjualkan barang dagangan orang desa (sebagai calo) adalah bentuk keberpihakan
terhadap penduduk kota (agar calo tidak menjual barang dagangan dengan harga
mahal –edt.)
5)
Ada dua pertimbangan agar orang kampung tidak tertipu
dan agar orang kota juga tidak tertipu. Kalau diperhatikan di sini terdapat
kontradiksi. Jawabannya adalah bahwa syariat memperhatikan kepentingan orang
banyak dan mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan individu,
bukan justru sebaliknya, mengedepankan kepentingan individu daripada
kepentingan publik. Dikarenakan apabila orang desa menjual barang dagangannya
sendiri, maka semua pelaku pasar akan mendapatkan manfaat, mereka bisa membeli
barang dengan harga relatif murah dan semua penduduk pun akan mendapatkan
manfaat. Disni syariat mengedepankan kepentingan penduduk daripada kepentingan
orang kampung. Dan dikarenakan pada transaksi talaqqi rukbaan
(menghadang rombongan pedagang dari kampung) terdapat maslahat individu,
ditambahkan lagi alasan kedua berupa adanya kemudharatan bagi pelaku pasar
disebabkan orang yang menghadap rombongan pedagang dari kampung itu dapat menjual
barang dengan harga lebih murah dari yang lainnya. Sehingga dapat memutus
sumber pencarian pedagang lain yang jumlahnya lebih banyak, maka syariat lebih
mengedepankan pelaku pasar daripada pihak si penghadang tersebut. Dengan
demikian tidak ada kontradiksi pada kedua masalah ini. Justru keduanya tepat
dalam segi hikmah.
h. Sebab
Dilarangnya Talaqqi rukban dan Ahlul Hadhoro
Sebab
dilarangnya talaqqi rukban dan Ahlul Hadhoro karena orang luar memanfaatkan ketidaktahuan
Orang desa mengenai harga barang yang akan dijual. Mereka menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di
pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan
sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya. Jika
orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya
ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dari harga normal
jika ia berjualan di pasar itu sendiri. [[4]]
Rasulullah melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
kenaikan harga.
i.
Hikmah di Balik Larangan Talaqqi Rukban dan Ahlul Hadhoro
Hikmah
dilarangnya talaqqi ar-rukban dan Ahlul Hadhoro adalah pertama
agar tidak memperdaya para pembawa barang, karena mayoritas mereka tidak tahu
harga barang di negeri itu. Dan mayoritas mereka menjatuhkan harga yang lebih
murah, kedua agar perbuatan ini tidak menimbulkan kesempitan atas orang yang
ada di pasar.
j. Piqhul Hadist
Rasulullah Salaullahu Alaihi wa Sallam
melarang Talaqqi rukbaan dan Ahlul Hadhoro
k. Kesimpulan
Hadist
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara
menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta
dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang
sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah,
bahwa: Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di
pasar (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari). Larangan
tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi
yang benar tentang harga di pasar.
Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.[[5]]
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh
pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi
di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak,
dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu
berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk
mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota
terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.[[6]]
Yang dimaksud bai’
hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo atau perantara
untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Jika orang kota
menjualkan barang dagangan orang kampung berupa barang yang umumnya dibutuhkan
oleh orang banyak di pastikan akan terjadi permainan harga yang akan
menyebabkan barang tersebut naik. Sehingga para pembeli akan kesulitan untuk
membeli barang yang mereka butuhkan.
2. Ihtikar
a.
Hadist
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا
الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه مسلم][7][
b.
Sanad
Hadist
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ- قَالَ كَان سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا
قَالَ
c.
Matan
Hadist
قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا
الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.
d.
Perawi
Hadist : (HR. Muslim)
e.
Diriwayatkan dari :
Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari
Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab
menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar.
f.
Terjemahan Hadist
Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari
Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab
menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda
: Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah
seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu
telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan
hadits ini ia juga melakukan ihtikar.
g.
Biografi Perawi
Ma’mar
bin Abi Ma’mar adalah salah seorang sahabat Nabi yang masuk Islam lebih dulu
dan pernah mengikuti Rasulullah saw hijrah ke Habasyah. Beliau terlambat
Hijrahnya ke Madinah, dan pada akhirnya beliau hijrah dan menetap di Madinah
bersama Nabi. Menurut Abu Isa, hadits ini dikatakan sebagai hadits hasan dan
sohih. Sedangkan menurut imam Albany hadits ini dikatakan hadits sohih.
h.
Pemahaman Isi Hadist
1)
Barang siapa
yang membeli bahan makanan dan menahannya agar sedikit / berkurang dan mahal
harganya (maka ia berdosa). Jual
beli dengan ihtikar yaitu membeli sesuatu untuk ditimbun, dengan tujuan supaya
tidak banyak jumlahnya di pasaran sehingga harganya naik. Tindakan seperti ini
jelas membahayakan masyarakat.[[8]]
Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Pengertian ihtikar dalam tinjauan fiqih adalah penahanan atau
penimbunan atas suatu barang dagangan dengan tujuan untuk dijual kembali dengan
harga yang lebih mahal ketika kebutuhan meningkat. Hal ini berdasarkan
keterangan yang tercantum dalam kitab ‘Umdatul Qori yang menjadi syarah
atas kitab Shohih Bukhori. [[9]]
2)
Berdasarkan
keterangan dalam kitab Badrul Munir, mengutip yang disampaikan oleh Abu Mas’ud
Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu Musayyab menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh
Sa’id adalah melakukan penahanan atas barang berupa minyak. Sedangkan menurut
Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya melakukan penahanan atas beberapa komoditas
yakni minyak, biji gandum dan sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang
dilakukan Sa’id adalah melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan
rempah-rempah. Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id
dan Ma’mar keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua
beranggapan yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan
atas barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain
seperti minyak, biji kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan
merupakan kebutuhan pokok. [[10]]
3)
Imam Hanafi
menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk, yang diperlukan masyarakat. Imam asy-Syaukani tidak
merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga
seseorang dapat dikatakan sebagai muitakir
(pelaku ihtikar) menyimpan
barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Ulama Hanabilah dan Imam
al-Gazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk
makanan saja. Alasan mereka adalah yang
dilarang dalam nashsh (ayat
atau hadis) hanyalah makanan.
4)
Ikhtikar
dilarang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai." (Syarh
Shahih Muslim, 11: 43). Artinya disini jika menimbun barang tidak menyulitkan
orang lain maka tidak ada masalah. Jelas
ihtikar dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong
oleh nafsu serakah dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan
orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan
mental yang rendah
i.
Hukum Melaksanakan Praktek Ikhtikar
1)
Haram secara mutlak (tidak
dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi
SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُ
خَاطِئٌ
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat
dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun
yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan
keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk
keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya
membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga
terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti
pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak
pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak
merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun. [[11]]
3) Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun
selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di
atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar
selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ
إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ
هَذَا
الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat
dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab,
"Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!'
(HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini
(Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena
keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat
dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan
hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin
Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka
menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan
saja).
4)
Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di
kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan
ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang
terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu
barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka
akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain
yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak
mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5)
Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka
menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan
makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum
menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ
مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ
يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:
"Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang
pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus
mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR.
Bukhori 2131, dan Muslim 5/8).
j.
Piqhul Hadist
Rasulullah Salaullahu Alaihi wa Sallam
melarang Praktek Ikhtikar
k.
Hikmah di Balik Larangan Ihtikar
Imam Nawawi
menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum [[12]],
oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih,
sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada
orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan
cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian
juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim
dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan
membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam[[13]].
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35 yang artinya : Orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam,
lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun
harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal,
jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan
produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi
pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah
pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya
produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas
rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat. Penimbunan barang merupakan halangan
terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat
internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang
dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara
ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan,
negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang
kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang
dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap
keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.[[14]]
l.
Kesimpulan Hadist
a) ihtikar adalah sebuah tindakan yang
dilakukan oleh pedagang untuk menahan barang dagangnnya dengan tujuan akan
dijual kembali ketika kebutuhan meningkat dan terjadi lonjakan harga.
b) Hadits-hadits
tentang larangan ihtikar masih bersifat umum, tidak secara spesifik menyebutkan
ketentuan apa saja barang yang dilarang ditimbun.
c) Bila
membandingkan dengan beberapa hadits
pendukung lain yang meskipun masuk sebagai kategori hadits dlo’if kebanyakan
ulama’ sependapat bahwa hukum haram praktek ihtikar (monopoli) hanya berlaku
pada makanan saja, meskipun begitu ada juga ulama yang berpendapat bahwa
ihtikar dihukumi haram secara mutlak.
d) Islam sangat
mengecam adanya praktek ihtikar karena dapat meresahkan masyarakat.
[1] Hadist ini
shahih , al-bukhari (2158) , dan muslim (1521)
[2] Hadist ini
shahih, Shahih Abu Dawud (3437)
[3] Hadist ini
shahih , Muslim (2162)
[4] (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805)
[5]
Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an Talaqqy
ar-Rukban, No hadits 2162 hlm 38.
[6] http://www.pendidikanekonomi.com/2012/10/studi-kasus-fiqh-muamalah.html
[7] Muslim, Abu
Al-Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al-Nasisabury, Al-Jami’
Al-Shohih Al-Musamma Shahih Muslim Juz 5, Beirut, Darul Jayl, hlm. 56
[8]
Mesir (atau
juga negeri lain-pent) sering kali mengalami krisis dengan melonjaknya harga
barang-barang gara-gara ikhtikar ini. Lain dari itu ikhtikar juga semakin
banyak menambah negara. Padahal andaikan orang mengerti ajaran islam dengan
baik, dan andaikan media-media penerangan menerangkan betapa islam melanggar
perbuatan ikhtikar, ketimbang digunakan untuk memutar filem-filem yang hanya
membuang-buang biaya saja, tentu ikhtikar yang keji itu takkan terjadis
[9] Syekh
Badruddin Al-‘Ayny Al-Hanafy, ‘Umdatul Qori Syarh Sohih Bukhori Juz 17,
hlm. 436
[10] . Ibnu Al-Mulqin Sirojuddin Abu
Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii Al-Misry, Al-Badrul Munir fi Takhriji
Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi Syarhi Al-Kabir Juz 6, Riyad, Darul
Hijrah, 2004, hlm.504
[11] Mughni Al-Muhtaj
ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj Juz 6, hlm. 397
[13] Ibnu Al-Mulqin
Sirojuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii Al-Misry, Al-Badrul
Munir fi Takhriji Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi Syarhi Al-Kabir Juz 6, Riyad,
Darul Hijrah, 2004, hlm.504
0 komentar:
Posting Komentar