Kamis, 26 Februari 2015



Di atas tendon ini. Di kala senja, aku terduduk merenungi kehidupanku. Mencoba membandingkan kehidupanku dengan kehidupan yang lain di alam ini. Teduhnya senja membuat suasana hatiku lebih tenang. Senja yang selalu bisa membuatku rileks. Senja yang selalu bisa membuat suasana hati yang kalut menjadi plong. Senja yang selalu bisa membuat jiwaku yang tertekan merasa bebas. Ya, bagiku senja adalah sahabat sejatiku. Dan tidak pernah aku mendapatkan sahabat sejati yang benar-benar senjati seperti senja.
Aku memandang lurus ke depan sana. Tampak hamparan luas alang-alang yang menari di antara tiupan angin. Burung-burung bernyanyi berkejaran bersama kawananya. Aku iri pada burung itu. Mereka begitu riang. Hidup bebas tanpa tekanan dan tuntutan. Beda denganku yang selalu ketakutan akan masa depan yang belum tentu akan terjadi. Aku hidup kaku dengan aturan-aturan manusia yang kadang bagiku itu mekekang kebebasan. Aku ingin seperti burung.

Katanya hidup dengan seribu sahabat itu kurang dan satu musuh itu sangat membebani. Aku tak tahu apakah aku memiliki musuh atau tidak. Tetapi untuk orang yang aku benci tentu ada. Orang yang kita benci bukan berarti musuh. Tetapi musuh adalah jelas orang yang kita benci. Aku tak suka dengan sifatnya bukan orangnya. Sementara mencari seribu sahabat, aku sanksi. Aku tidak seperti kebanyakan pemuda pada umumnya. Aku takut terhadap orang. Hal tersebut terjadi karena ketidak nyamananku berada di dekat mereka. Ketidak nyamanan itu muncul akibat ketidak pedeanku. Ketidak pedean itu muncul karena aku merasa berbeda, merasa memiliki terlalu banyak kekurangn dibanding mereka. Bila berada di antara mereka rasanya ada satu jarak yang membatasi diriku dengan mereka. Satu dinding kasat mata yang seolah memisahkan dimensiku dari dimensi mereka. Dan aku hanya bisa menyaksikan keakraban mereka tanpa bisa ikut merasakanya. Itulah yang menyebabkanku sering merasa sendiri di tengah keramaian. Aku penyandang asperger, itu diagnosaku setelah membaca di perpustakaan google.

Jika bicara tentang persahabatan, walaupun aku takut terhadap orang, bukan berarti aku tidak memiliki sahabat sama sekali. Aku memiliki beberapa nama sahabat yang namanya ku ukir di hati. Sahabat yang susah payah aku mendapatkanya. Bagaimana tidak, dari proses mengenal sampai menjadi sahabat butuh waktu hingga bertahun-tahun. Tapi sayangnya, di antara sekian nama yang aku ukir, hanya satu nama yang benar-benar masih ada untuku. Sisanya entah kemana. Kadang aku merasa terbuang. Mereka yang dulu selalu bersama, meninggalkanku yang kala itu terpuruk. Aku tak tahu kenapa mereka menjadi seperti itu. Mungkin karena mereka terlalu sibuk dengan kuliahnya atau mungkin hal lain sehingga tidak sempat berkomunikasi lagi denganku. Atau kemungkinan yang terparah, mereka memang membuangku. Mereka menganggapku hanya sahabat sambil lalu.
Pernah satu ketika aku menghubungi salah saatu sahabat terbaiku lewat whatsapp. Dia adalah seseorang yang aku kagumi. Dari dialah aku mendapatkan gelar “Skeptis”. Aku menanyakan kabarnya, dia membalas “Ini siapa?”. Aku menjawab “Ini aku Sofyan Iskandar alumni IPA 1.” Tak ada balasan sama sekali. Entah tak ada pulsa atau mungkin memang sengaja tak membalasnya. Aku yakin dia sengaja tidak membalasnya. Bukan berburuk sangka, aku mengatakan begitu karena memiliki alasan. Alasan pertama, dia tidak pernah mengseve nomor Hpku padahal dulu sering chat. Baik di whatsapp maupun di kakao. Ini dibuktikan dengan dia tidak mengenali nomorku. Kalaupun ganti Hp itu bukan suatu alasan baginya mengabaikanku. Kedua, dia tidak membalas chatku setelah aku menyebutkan namaku. Alasan kedua adalah alasan penguat alasan pertama. Sunggung sakit hati ini. Aku menganggap dia lebih dari seorang sahabat biasa. Tapi nyatanya dia menganggapku… entahlah.
2010 adalah tahun paling kalut di hidupku. Aku kehilangan keluarga, orangtuaku bercerai. Kami terpecah. Adiku yang memiliki mimpi menjadi perawat harus mengkandaskan mimpinya. Dia memilih menikah karena tidak ingin ikut dengan Mamah terlebih Bapak. Adikku yang kedua sekaligus bungsu harus kehilangan kasih sayang yang utuh disaat dia sangat membutuhkanya. Dia baru belajar berjalaan kala itu. Mamah, wanita tegar, wanita yang senantiasa melakukan yang terbaik dalam perananya sebagai seorang ibu dan istri memilih pergi ke Kalimantan. Aku sendiri, di tengah kekuranganku, aku mencoba berjuang sendiri di kerasnya kehidupan kota. Jangan tanyakan tentang mimpi masa depanku, karena mimpi itu juga hancur dirampas oleh takdir. Sementara Bapak, dia yang paling bahagia dengan perceraian itu. Dia akhirnya bisa bersatu dengan wanita salihah selingkuhannya itu. Ya, Bapak pernah bilang kalau selingkuhannya itu adalah seorang wanita salihah. Aku hanya ingin tertawa mendengar perkataannya itu. Wanita salihah sama dengan wanita pengganggu rumahtangga orang? Yang benar saja.
Kehilangan memang sesuatu yang menyakitkan. Dalam hidup ini, setiap manusia pasti akan mengalaminya. Aku bukan saja kehilangan keluargaku, mimpiku, akan tetapi aku juga kehilangan orang-orang yang aku anggap sahabat. Ketika aku terjatuh, tak ada satu pun dari mereka yang mencoba menyanggaku. Hati yang hancur semakin hancur. Aku tak tahu harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit yang terus menggerogoti hati ini. Akhirnya aku berubah. Ya, rasa sakit itu membuatku berubah. Aku yang anti rok*k mulai bersahabat dengannya. Aku yang membenci minuman keras mulai berkenalan dengannya. Sahabat-sahabatku yang mulai tahu keburukanku itu berkomentar pedas akan hidupku. Dan aku tak peduli. Selama ini mereka kemana? Ketika aku membutuhkanya, mereka tak ada. Kenapa mereka datang. Datang dan pergi kembali. Karena setelah mereka mencaciku mereka langsung pergi.

Malam kian kelam. Sekelam hatiku yang kian tenggelam oleh kelamnya kesendirian, kelamnya kehampaan. Aku benci kepada mereka, Abdul, Bayu dan Dedi. Tidur tenang setelah tadi tertawa-tawa bersama. Tiada sapaan atau sekedar basa basi apalah. Mereka membiarkanku sendiri dalam lamunan. Padahal kami tinggal sekamar di camp ini.
Aku menatap satu persatu wajah tenang yang aku benci itu. Ubay, seorang pemuda berumur 20 tahun. Berkulit hitam manis. Pandai memikat orang dengan tutur katanya yang sopan. Dia mampu menempatkan diri dengan baik ketika berada di antara orang-orang. Dan aku membencinya karena aku tidak seperti dirinya. Dedi, dia juga seumuran dengan Ubay. Tetapi dia lebih kurus dan lebih pendek. Giginya gingsul di sebelah kiri. Dedi adalah anak yang ramah. Dia murah senyum. Hidupnya lepas. Dan aku membencinya karena aku tidak seperti dirinya. Yang terakhir adalah Abdullah, dia paling sempurna di antara mereka. Jujur aku tidak ingin membencinya. Malah aku ingin bisa dekat denganya. Dia adalah calon sahabat sempurna di mataku. Abdullah juga berumur sama dengan Ubay dan Dedi. Dia memiliki kulit putih. Rambutnya cepak. Badanya proporsional. Dia rajin beribadah dan pandai mengaji. Sempat sekali waktu aku mendengar tilawahnya. Rasanya pilu. Pilu karena aku tidak seperti dirinya. Dia dekat dengan Tuhan sementara aku jauh. Dan itulah yang membuatku membenci dia.
Entah setan apa yang merasukiku, atau mungkin diriku memang sudah menjadi satu dengan setan. Bagiku, hidup mereka terlalu mudah. Aku akan membagi rasa sakit yang selama ini bersarang menggerogoti hatiku kepada mereka. Aku harus melakukan sesuatu.

Belati yang indah, belati kesayanganku. Aku mendapatkanya tiga bulan yang lalu di sebuah toko penjual senjata tajam. Belati ini belum pernah aku pakai sebelumnya, akan tetapi selalu ku asah setiap tiga hari sekali dikala senja untuk menjaga agar dia tak dimakan karat. Dan aku ingin menguji seberapa tajam belati kesayanganku ini.
Aku kembali melihat Ubay. Aku Mengecup keningnya sebagai tanda perpisahan. Ku jilat sedikit bibirnya. “Maafkan aku bocah menyenangkan. Aku bukan tak senang padamu. Tetapi aku hanya ingin berbagi rasa sakit denganmu”. Aku mengangkat belatiku, mengarahkanya ke dada bidang Ubay. Tepat mengenai jangtungnya. Aku segera membekap mulutnya dengan bantal untuk meredam suara sekaratnya. Suara percakapan dia dengan malaikat maut. Sekarang dia telah diam, kaku dan perlahan mendingin. Ku cabut belati kesayanganku, belati kebanggaanku dari dadanya. Darah yang keluar dari dadanya sungguh wangi. Berwarna merah segar. Aku mendekatkan mulutku tepat di dadanya yang terluka. Ku hisap sedikit, lalu aku menjilatinya sebentar. Nikmat sekali. Aku puas. Hahahaha… aku sangat puas.
Kini giliran Dedi, anak gingsul yang ramah ini akan segera menyusul temanya, Ubay. Ku pandangi sekali lagi dia. Kurus, pasti lebih mudah untuk menghunuskan belati ini ke dadanya. Aku Mengecup keningnya sebagai tanda perpisahan. Ku jilat sedikit bibirnya. “Maafkan aku gingsul. Aku bukan tak senang padamu. Tetapi aku ingin kamu menemani Bayu. Karena bukankah kamu pernah bilang bahwa bayu adalah sahabat sejatimu? Sudah sepantasnya seorang sahabat sejati itu selalu ada di samping sahabatnya. Kala senang maupun susah”. Aku tersenyum padanya seraya mengangkat belatiku dan mengarahkanya ke dada kering Dedi. Tepat mengenai jantungnya. Aku segera membekap mulutnya dengan bantal, sama seperti apa yang ku lakukan kepada Bayu. Ku cabut belati kesayanganku, belati kebanggaanku dari dadanya. Darah bocah ginsul itu mengalir deras. Warnanya merah pekat, baunya segar. Aku mendekatkan mulutku tepat di dadanya yang terluka. Ku hisap sedikit, lalu aku menjilatinya sebentar. Darahnya yang merah pekat lebih gurih dari pada darah Bayu yang merah segar.
Tinggal satu lagi. Bocah cepak yang rajin shalat dan pandai tilawah ini. Aku pandangi dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki sekali lagi. Ada satu rasa yang aku sendiri tak mengerti apa itu. Wajahnya begitu teduh menenangkan. Ternyata dia terlihat lebih tampan ketika tidur. Nafasnya teratur. Orang baik seperti dia pastiah diberikan mimpi yang indah dalam tidurnya. Mimpi bertemu bidadari-bidadari. Tidak seperti diriku, seringnya tidak bermimpi. Sekalinya bermimpi, bukan mimpi indah yang aku dapati. Mimpi dikejar hantu lah, buaya lah, diguna-gunain orang lah dan lain-lain yang tak kalah mengerikannya.
Aku Mengecup keningnya sebagai tanda perpisahan. Tetapi tidak kujilat bibirnya. Aku melewatkan satu ritual itu. Aku tak berani. Ada sesuatu yang menghalangiku, dan aku tak kuasa menembusnya. Tiba-tiba air mataku menetes. Ada rasa pilu yang mengalir di dalam darahku. Ada rasa sakit yang menusuk hatiku. Rasa takut kehilangan. Dia, bocah pelontos itu, kenapa aku tak bisa? Dua bocah sebelumnya berhasil ku bunuh dengan lancar tanpa satu kendala apapun. Tetapi dia…
“Maafkan aku… maafkan aku… Abdul… lah… aku tidak ingin kamu bersama mereka. Aku ingin kamu menjadi sahabatku. Akan tetapi, aku lebih hina dibanding mereka. Aku hanyalah seorang manusia yang menyesatkan dirinya. Yang hatinya diselimuti kabut hitam nan pekat. Maafkan aku… aku harus mempersatukanmu bersama mereka, Bayu dan Dedi”. Aku mengarahkan belati pada dadanya. Setetes air mataku jatuh tepat ke bibirnya. Terhisap olehnya. Aku memalingkan wajahku.
Allahu Akbar… Allahu Akbar
Allahu Akbar… Allahu Akbar
Suara adzan subuh berkumandang.
Asyhadu Alla Ilaha Illallah
Asyhadu Alla Ilaha Illallah
Syahdu dan merdu ditengah heningnya pagi.
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Tanganku berhenti bergerak
Hayya’alash Sholah
Hayya’alash Sholah
Bibirku terkunci, hatiku bergetar hebat.
Hayya’alal Falah
Hayya’alal Falah
Pilu. Mata ini semakin deras mengucurkan air mata.
Ashalatu Khairum Minan Naum
Ashalatu Khairum Minan Naum
Ada rindu yang membuncah. Merasuk qalbu.
Allahu Akbar… Allahu Akbar
Lailaha Ilallah
Ada penyesalan yang teramat dalam menusuk hati.
Aku ingin kembali
Kembali padaMu wahai Tuhanku
Tiba-tiba aku tersadar dari keterpesonaanku terhadap adzan subuh tadi. Hati yang sempat dingin, bergolak kembali. Putih yang sempat menyelimuti, tenggelam kembali. Hitam kian bertahta menjajah hati. Misiku belum selesai. Aku tak bisa membiarkan Abdullah hidup. Dia akan membuatku sengsara. Dia pasti akan melaporkanku ke polisi. Ku tarik nafas dalam-dalam, ku keluarkan perlahan, berat… berat sekali. Ku tutup mataku dan ku hunuskan belati itu tepat ke jantungnya.

Mataku terbuka. Cahaya lampu mebuatku harus sedikit menyipitkan mata. Aku tak tahu apa yang terjadi tadi. Samar-samar aku melihat sesosok pemuda. Abdullah, ya Abdullah. Dia tersenyum padaku. Senyuman manisnya yang juga membuatku iri. Apakah tadi aku belum membunuhnya? Ataukah Abdullah yang berada di depanku adalah arwah yang ingin balas dendam? Badanku mendadak dingin. Bulu kuduku berdiri. Dia terus menatap lekat mataku. Tersenyum padaku. Belati, di mana belatiku. Ku lihat tanganku, tidak ada darah. Tanganku bersih. Aku cubit pipiku, rasanya sakit. Dia tertawa. Apa yang dia tertawakan? Apakah ada yang lucu denganku? Ataukah dia senang melihat diriku yang ketakutan ini? Tetapi, kalau dia hendak membalas dendam, mengapa tatapanya itu teduh? Aku tidak merasa dia mengintimidasiku. Dia terlihat manis seperti biasanya. Ahhhhhh…
“Kang.. Kang, bangun! Ini Abdullah.”
“Dari semalam badan Akang panas. Aku, Bayu dan Dede gantian jagain Akang. Syukur kalau Akang sudah bangun. Itu artinya Akang sudah baikan”.
“Panas? Baikan? Kamu? Kalian? Jagain Akang?”
“Yupe.”
“Kamu jangan berpura-pura membohongiku. Jika kamu ingin balas dendam, bunuh saja aku. Aku juga sudah bosan hidup. Jangan berpura-pura baik lalu menerkam. Aku gak suka”.
“Astagfirullah, Kang. Eling, buat apa Abdul bunuh Akang. Apa untungnya coba? Akang mimpi buruk ya?”
“Mimpi buruk?”
“Ya mimpi buruk.”
Aku terdiam kaku. Tak ada niat sedikitpun tuk bangun. Semuanya membuatku pusing. Jika tadi adalah mimpi, mengapa semuanya terasa begitu nyata. Mengapa aku sangat menikmatinya. Jika saat ini adalah nyata, mengapa mereka begitu baik. Bergantian menjagaku yang sakit. Tadi sore aku memang tak enak badan. Tetapi aku tak tahu kalau malam tadi demamku semakin tinggi.
Tiba-tiba Abdul bangkit, dia mengulurkan tanganya.
“Shalat yu!”
“Shalat?”
“Ya, shalat!”
Dia mengajaku shalat. Apakah tidak salah? Tiga tahun setengah, semenjak kedua orangtuaku berpisah, aku tidak mau lagi mengenal kata shalat. Aku kecewa kepada Tuhan. Aku merasa Dia tak adil. Sekarang, anak ini, Abdullah, mengajaku shalat? Padahal dia tahu sendiri kalau aku tak pernah shalat.
“Kang…”
Dia membuyarkan lamunanku. Tanganya masih terulur untuku. Rasa apa ini? Aku seperti ingin meraihnya.
Kini, tanganya telah menggenggam tanganku. Hangat, nyaman, rasanya hati yang kosong ini penuh terisi. Aku tak ingin tangan ini berpisah. Setidaknya dalam jangka waktu lama.
Dia menuntunku ke kamar mandi.
“Kang, Akang yang duluan wudhu ya. Aku mau bangunin Bayu sama Dedi dulu. Kasihan mereka kalau gak dibangunin. Nanti shalatnya berjamaah. Akang masih ingatkan do’a wudhu?”
Aku hanya mengangguk. Walaupun sudah tiga setengah tahun aku tak shalat, aku masih ingat do’a berwudhu.

Aku, Bayu dan Dedi berdiri di belakang Abdul. Dia yang menjadi imam kami.
“Aku lupa do’a kunut”. Celetuku
“Do’a kunut kan sunat, jadi kalaupun gak dipakai, ya gak apa-apa”
Aku mengangguk.
“Ushali Fardhash-Subhi Rak’ataini Mustaqbilal-Qiblati ada’an Ma’muman Lillaahi Ta’aalaa. Allahu Akbar”. Aku mengangkat kedua tanganku kemudian meletakanya di dada.

Tenang, itulah yang aku rasakan saat ini. Ridu yang selama ini terkubur bangkit kembali. Aku merasa lebih ringan. Ketika shalat dan berdo’a tadi, air mataku bercucuran tanpa henti. Mungkin aku kelihatan cengeng di mata mereka. Tetapi aku tak peduli. Yang terpenting buatku adalah, aku bisa merasakan kerinduan yang sekian lama terpendam ini.
“Kita ngaji dulu yah!” ajak Abdul.
“Boleh…” Bayu dan Dedi kompak
“Surah apa?” tanya Dedi
“Menurut Kang Iskandar, kita mengaji apa hari ini?” Abdul meminta pendapatku
“Terserah kalian saja.” Jawabku
“Ayolah Kang, sekarang anggap saja hari spesial Kang Iskandar. Jadi, kita mau mengaji surah apa?” bujuk Abdul
Aku berfikir sejenak. Coba mengingat-ingat sesuatu.
“Hmmm… waktu aku kecil dulu, setiap malam jum’at, aku dan guru ngajiku selalu membaca sepuluh ayat pertama surah At-Kahfi dan Surah Yasin. Tapi, hari ini kan minggu pagi.”
“Mengaji iu tak pandang hari, Kang. Ga ada aturanya juga harus ngaji surah ini di hari ini.” Abdul tersenym kepadaku
Kami mulai mengaji. Abdul yang memimpinya. Tilawah pagi ini menyempurnakan pelepasan rinduku kepada Tuhan.
Mulai pagi tadi, aku dan mereka resmi bersahabat. Aku menceritakan semua mimpiku dan keluh kesahku kepada mereka. Mereka memang pendengar yang baik. Mereka bukan hanya sekedar bersimpati kepadaku, tetapi juga berempati. Dan aku baru sadar akan sesuatu tentang diriku. “Bukan mereka yang menjauhiku, bukan pula mereka yang tak mau menjadi sahabatku selama ini. Akan tetapi aku yang terlalu menutup diriku sehingga mereka tidak bisa menjangkaunya”. Harapanku, persahabatan yang diawali dengan indah ini akan berakhir dengan indah pula. Amin.
End
Sedikit celoteh* untuk sahabatku
Sahabat, sedang apa kalian di sana? Apakah pernah satu ketika kalian merindukanku seperti aku yang sering merindukan kalian? Apakah pernah satu ketika kalian memikirkanku seperti aku yang sering memikirkan kalian? Apakah pernah satu ketika kalian mengenang kebersamaan kita dulu seperti aku yang selalu mengenangnya? Apakah kalian mengukir namaku seperti aku yang mengukir nama kalian?
Sahabat, bagaimanapun sikap kalian kepadaku saat ini, kalian adalah sahabatku, dan tetap akan menjadi sahabatku. Aku akan tetap merindukan kalian, memikirkan kalian, mengenang kebersamaan kita dulu dan aku takkan pernah menghapuskan nama kalian di hati ini. Percayalah, karena ini janji seorang sahabat sejati untuk sahabat sejatinya. Aku cinta kalian semua.
*Kata celoteh aku pinjam dari sahabatku, Lalila. Di setiap syair indah yang ia tulis, celoteh selalu ada menghiasinya.
Dariku yang merindu sahabat, Kang Zaen

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar