Selasa, 17 Februari 2015

ijma' || makalah ushul fiqih

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’ mengandung dua arti. Pertama, ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Kedua, dengan arti sepakat. Arti kedua ini terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat Yusuf ayat 15.[1]

فَلَمّاَ ذَ هَبُو اْ بِهِ , وَأَ جْمَعُو اْ أنْ يَجْعَلُوْ هُ فيِ غَيَبَتِ اْ لجُبِّ ... (يو سف : ه ا )
Artinya : Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur ( lalu mereka masukkan dia)... (QS. Yusuf : 15)

Pendapat Ulama mengenai pengertian ijma’ :
a.         Ibrahim ibn Siya Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang”. Akan tetapi, rumusan Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi.
b.         Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”. Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW yaitu seluruh umat Islam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasululllah, ijma’ tidak diperlukan, sebab keberadaan Rasulullah SAW sebagai syar’i (penentu/ pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’. Rumusan ini, menurut Al-Amidi, tokoh ushul fiqih Syafi’iyyah, mengikuti pandangan imam Asy-syafi’i yang menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan oleh seluruh umat, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat.[2]


Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa ijma’ adalah :

إِ تِّفَا قُ جَمِعِ اْ لمُجْتَهِدِ يْنَ مِنَ اْ لمُسْلِمِيْنَ فىِ عَصْرٍ مِنَ اْ لعُصُوْ رِ بَعْدَ وَ فَا ةِ ا لرَّ سُوْ لِ عَلَى حُكْمٍ مِنَ اْ لاَ حْكَا مِ ا لشَّرْ عِيَّةِ ا لْعَمَلِيَّةِ
Artinya : “Kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW akan suatu hukum syariat yang amali”.

Adapun secara istilah, Ijma’ ialah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syara’, pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua mujtahid diwaktu terjadinya. Para mujtahid itu sepakat memutuskan/ menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu dinamakan ijma’. Ijma’ mereka itu adalah suatu i’tibar terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber syar’i. Tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i dan tidak ada kesepakatan. Kesepakatan itu baru ada apabila lebih dari seseorang.[3]
Dari definisi di atas ada beberapa kata kunci yang harus diperjelas yaitu :
a)         Semua mujtahid, artinya bahwa ijma’ itu harus disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada di antara mereka yang menolaknya pada masa tersebut.
b)        Sesudah Nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih hidup tidak ada ijma’. Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh Nabi.
c)         Hukum syara’, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada masalah hukum amaliah (syara’) dan tidak masuk pada masalah akidah.[4]
2.2 Fungsi Ijma’
Dari beberapa bentuk hukum yang ditetapkan melalui ijma’ dapat ditetapkan beberapa fungsi ijma’ :
1.         Memberikan arti yang pasti atas suatu lafaz nash atau maksud yang pasti dari sebuah ayat Al-Qur’an. Banyak ditemukan dalam Al-Qur’an lafaz tersebut ada yang telah disepakati ulama tentang arti dan maksudnya. Kesepakatan itu disebut ijma’. Suruhan Allah untuk melaksanakan shalat disepakati mengandung arti wajibnya shalat itu. Larangan Allah untuk berbuat zina mengandung arti adanya hukum haram perbuatan zina itu. Kata “mewasiatkan” dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 11 berarti “mewajibkan”. Ijma’ dalam bentuk ini yang jumlahnya begitu banyak disebut kesepakatan dalam memahami nash Al-Qur’an atau sunah Nabi.
2.         Meningkatkan kualitas sebuah Hadis Nabi dari bersifat lemah atau zhanni menjadi bersifat kuat atau qath’iy. Umpamanya hak warisan nenek atas peninggalan cucunya sebanyak seperenam, mulanay ditetapkan oleh hadis yang lemah yang tidak diketahui adanya oleh Abu Bakar. Setelah dikuatkan oleh dua orang sahabat lainnya akhirnya diterima oleh Abu Bakar dan diterima secara sepakat oleh orang banyak. Hal ini berarti ijma’ ulama menjadikan hadis Nabi yang lemah tersebut menjadi kuat.
3.         Menetapkan hukum atas sesuatu yang tidak ada landasannya sama sekali dalam Al-Qur’an atau Sunah.[5] Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama ditetapkan melalui ijma’ yang sebelumnya didahului oleh debat yang panjang dari para sahabat.
2.3 Syarat-Syarat dan Rukun ijma’
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1.         Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Begitu juga kesepakatan Islam yang belum atau belum mencapai derajat mujtahid fiqh, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
2.         Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun.
3.         Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya.
4.         Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi Saw masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i. Kesepakatan tersebut menjadi hujjah jika mendapat persetujuan dari Nabi SAW. Sebab beliau sendirilah yang mempunyai wewenang untuk membentuk syari’at pada masanya
5.         Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat.
6.         Hendaknya kesepakatan para mujtahid diatas satu pendapat itu benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul betul terjadi kebulatan pendapat atas suatu hukum.[6]
Dalam definisi dikatakan, bahwa sepakat semua mujtahid Muslim pada suatu masa terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’ yaitu :
a)         Mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang. Karena kesepakatan itu tidak akan terwujud kalau pemikiran yang dikeluarkan itu jumlahnya tidak lebih dari seorang. Seluruh pendapat itu setuju terhadap keputusan yang diambil itu.
b)        Adanya pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid secara jelas dan terang-terangan baik dalam bentuk ucapan atau berupa perbuatan.
c)         Adanya kesepakatan atau kesamaan pendapat dari seluruh mujtahid secara menyeluruh tanpa kecuali.[7]
d)        Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
e)         Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadis Rasulullah.[8]
2.4. Kemungkinan Terjadinya ijma’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
1.    Periode Rasulullah SAW;
2.    Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
3.    Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas  ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’,  bahan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad  ibn Hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Olehsebab itu, menurutnya sangat sulit untuk menngetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada orang yang bertanya apakah ijma’ itu ada dan secara aktual terjadi, menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, jawaban yang paling tepat adalah “Kami tidak mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini.”
Di samping itu, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah (661-728H/1262-1327 M),dan Ibn Qayyim  al-Jauziiyyyah (691-751 H/1292-1350  M), keduanya ahli fiqh Hanbali, tidak menerima ijma’ kecuali ijma’ dilakukan para sahabat.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad Abu Zahrah, Al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khallaf, Fathi Ad-Duraini (guru besar fiqh dan ushul fiqh dan ushul fiqh di universitas Damaskus, Syiria), dan Wahbah Al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat.   
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2.    Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
2.5 Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Para ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan sunah. Tak ada ulama yang menolak keberadaan ijma’ sebagai sumber hukum. Posisi ijma’ sebagai sumber didasari oleh nas Al-Qur’an surat an-nisa ayat 59 :[9]

يَأَ يُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْاأَطِعُوْا اللَّهَ وَأَطِعُواْ الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلآَمْرِ مِنْكُمْ فَأِنْ تَنَزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ أِلَى اللَّهِ وَالرَّسُوْلِ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (NYA), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-qu’an) dan Rasul ( sunahnya)...
Kalimat kembalikanlah kepada allah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Al-Qura’an. Dan kembalikan kepada Rasul-Nya adalah berdasarkan sunah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan pada qur’an dan sunah Rasul.
Lafaz ulil amri dalam ayat diatas mengandung dua pengertian sebagaimna tafsir Ibnu Abbas :
a.         Penguasa dunia seperti raja, presiden, atau umara
b.         Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama
Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi umat Islam, untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan hukum Allah. Terminologi ijma’ dikaitkan dengan ulil amri di atas masuk kepada poin kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. Kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma’ yang mengikat bagi umat Islam untuk diikuti. [10]
Kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum Islam didasari oleh hadis Nabi yang menegaskan bahwa pada hakikatnya ijma’ adalah milik umat Islam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil umat dalam memutuskan hukum, tentunya mereka sebagai wakil umat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah maka keputusannya dianggap absah dan benar. Sebagaimana hadist Nabi :

مَا رَ أَ ى ا لْمُسْلِمُوْ نَ حَسَنَا فَهُوَ عِنْدَ ا لله حَسَنً (ر و اه أ حمد)
Artinya : “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu pun baik di sisi Allah SWT.” (HR.Ahmad)
Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan hingga ijma’ itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat untuk diikuti. Menurut  mazhab Maliki, kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan ijma’ ahli madinah. Menurut kalangan syariah, ijma’ adalah keepakatan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ dianggap terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid. [11]
2.6  Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan, dengan alasan :
1)   Firman Allah surat An-Nisa’ Ayat 115 :
وَمَنْ يُشَا قِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُعْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلىَ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَ تْ مَصِيْرًا
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia dalam neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.An-Nisa’: 115)
Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang tak boleh diperselisihkan sebagaimana tak boleh diperselisihkannya Al-Quraan dan Sunah. Sedangkan Amidi mengomentari bahwa ayat ini merupakan ayat yang amat kuat petunjuknya tentang kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah Imam Syafi’i berpegangan, sedangkan Imam Ghazali berpendapat lain, yaitu bahwa yang dimaksud dengan “bukan jalan orang mukmin” itu ialah tidak membantu dan membela Nabi.
2)   Firman Allah surat An-nisa’  ayat 59 :

يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَاُولىِ الاَمْرِ مِنْكُمْ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan Ulil amri kamu. Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul...”
Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri, yaitu mereka yang mempunyai spesialisasi dalam berbagai bidang pengetahuan. Maka ulil Amri dalam urusan hukum adalah hakim, sedangkan dalam memperkenalkan hukum allah dan mengistibatkannya adalah para mujtahid, dan dalam berbagai ilmu disiplin ilmu pengetahuan adalah para pakar spesialis.
3)        Kesepakatan mujtahid dalam satu pendapat yang sebagian pemikiran dan pengetahuan mereka berbeda, menunjukkan bahwa pendapat ini merupakan kebenaran dan ketepatan yang benar-benar nyata, dan menunjukkan bahwa tidak terdapat dalil yang menentangnya. Jika dalil itu ada, tentulah sebagian mereka akan mengingatkannya dan tidak akan menghasilkan perbedaan di kalangan mereka karena tidak semua anggota jemaah itu lalai.[12]
2.7  Macam-Macam Ijma’
              Ijma’ dilihat dari cara memperolehnya terbagi menjadi dua :
a)         Ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang menampilkan pendapat masing-masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau perbuatan (keputusan). Ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. Ijma’ sharih ini menepati peringkat ijma’ yang paling tinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qath’i, sehingga umat wajib mengikutinya. Maka para ulama sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma’ sharih ini sebagai hujah syar’iyah dalam penetapan hukum syara’.
b)        Ijma’ sukuti, yaitu sebagian mujtahid menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan. Adapun mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan apakah ia menerima atau menolak. Oleh karena itu boleh bagi mujtahid untuk mengemukakan pendapat yang berbeda setelah ijma’ itu diputuskan.
       Tentang ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak yaitu :
a)         Imam Syafi’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan Imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyataka, bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan hujjah, bila mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat.
b)        Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap menganggapnya hujjah, sebagaimana halnya ijma’ qauli/amali.
c)         Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma’ sukuti hukumnya Zhanni dan kehujjahannya dzahiri bukan Qath’i.[13]
Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk) juga terbagi dua macam yaitu :
1)        Ijma’ Qath’i artinya, hukum yang dutunjuk sudah dapat dipastikan kebenarannya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi dan tidak perlu di ijtihadkan karena ijma’ qath’i ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
2)        Ijma’ Dzanni artinya, hukum yang ditunjuk itu kebenarannya masih bersifat dugaanatau masih diragukan. Karena itu, masih terbuka untuk dipersoalkan lagi dan tidak tertutup untuk dikaji oleh para mujtahid lainnya, sebab hasil ijtihadnya bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
       Dilihat dari para mujtahid yang memeloporinya, ijma’ terbagi menjadi enam bagian yaitu :
a)         Ijma’ umat, ijma’ inilah yang dimaksudkan dengan definisi pada awal pembahasan yaitu kesepakatan semua mujtahid di dunia Islam
b)        Ijma’ sahabat, yaitu persesuaian paham semua ulama sahabat terhadap suatu urusan.
c)         Ijma’ ahl Madinah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahli madinah terhadap suatu kasus. Ijma’ ini bagi imam  Malik adalah hujjah.
d)        Ijma’ ahl kufah, yaitu ijma’ yang dianggap hujah oleh imam Abu Hanifah.
e)    Ijma’ al-khulafah al-arba’ah, ijma’ ini dianggap hujah oleh sebagian ulama atas dasar hadis :                                                             عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ ا لْخُلَفَا ءِ ا لرَّ ا شِدِ Artinya :“Kamu wajib mengikuti sunahku dan sunah khulafah al-rasyidin  sesudahku.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan At-Turmuzi)
f)    Ijma’ al-syaikhayn, yaitu persesuian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum, ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadis yang diriwayatkan oleh : اِ قْتَدُ وْ ا بِا لَّذِ يْنَ بَعْدِ يْ ا بُوْ بَكْرِ وَ عُمرُ                                                             
Artinya : “Ikutilah atau teladanilah kedua orang ini sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar.”
g)        Ijma’ al-itrah, yaitu persesuaian para ulama-ulama ahli Bait.
2.8 Sebab-sebab dilakukan Ijma’.
       Diantara sebab-sebab dilakukannya Ijma’ adalah :
1.      Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash alqur’an dan sunnah tidak ditemukan hukumnya.
2.      Karena nash baik berupa Al-Qur’an maupun as-sunnah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
3.      Karena pada masa itu jumlah mujtahis tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalaan permasalahan yang timbul pada saat itu.
4.      Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
2.9  Berlalunya Masa Ijma’ [14]
Permasalahan yang kerap dihadapi oleh ijma’ dihukumi masih berlaku jika masanya telah berlalu dan semua mujtahid yang ikut dalam ijma’ ini sudah meninggal. Untuk menjawab hal tersebut dapat dilihat pendapat para ulama sebagai berikut :
a.         Imam Ahmad bin Hambal, Abu Bakar Ibnu Al-Fauraq, dan sebagian kecil ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya peserta ijma’ mengakibatkan ijma’ itu tidak berlaku lagi. Mereka berlasan bahwa pernah terjadi penyimpangan terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’. Kasusnya adalah tentang “Ummul Walad ( sahaya perempuan ) yang telah dihamili majikannya. Menurut ijma’ hukumnya disamakan dengan hamba sahaya biasa, sehingga ia dapat dijual dan tidak dapat dijual dan tidak dapat merdeka dengan sendirinya jika majikannya mati.” Atas dasar ijma’ itu maka Umar bin Khattab memerdekakan ummul waladnya. Ali berbeda pendapat dengan Umar. Menurutnya bahwa ummul walad berbeda dengan hamba sahaya biasa. Ia bisa merdeka dengan sendirinya jika majikannya telah mati.[15]
b.         Menurut jumhur ulama yang terdiri kebanyakan pengikut Syafi’iyah. Abu Hanifah, Ulama kalam Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua ulama mujtahid bukan syarat tidak berlakunya ijma’. Artinya ijma’ masih tetap berlaku. Mereka beralasan, karena kehujjahan ijma’ ini berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi. Kedua sumber tersebut tidak lapuk dengan berlalunya masa. Dan mereka pun beralasan bahwa hakikat ijma’ itu adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak pada kesepakatan ini bukan pada meninggalnya peserta ijma’. Contoh kasus : “ Seseorang menemui abu Bakar untuk meminta keputusan hukum terhadap haknya untuk mendapatkan warisan harta dari cucunya yang meninggal. Kemudian Abu Bakar untuk menyuruh nenek itu pulang untuk menanti jawabannya dalam Al-Qur’an dan hadis ternyata tidak ditemukan. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat. Tampilah sahabat bernama Mughirah ibnu Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, keduanya mengaku mengetahui Nabi pernah memberikan hak bagi nenek sebanyak seperenam. Berdasarkan bertia dua sahabat tersebut maka Abu Bakar menetapkan warisan untuk nenek tadi sebanyak seperenam. Apa yang ditetapkan oleh Abu Bakar ternyata tidak satupun sahabat yang menyanggahnya. Maka jadilah keputusan Abu Bakar itu sebagai ijma’ yang tetap berlaku sampai sekarang.   
3.0 Hukum Mengingkari Ijma’ [16]
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka ijma’ tersebut tidak boleh dibatalkan dan dihapus (dinaskh) oleh orang-orang yang telah berjima’ kepadanya. Sebab, ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah syar’iah, yang wajib mereka amalkan. Dan sebaliknya, tidak boleh mereka langgar. Ini merupakan pendapat ulama yang beranggapan bahwa ijma’ itu terjadi karena suatu kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka sudah wafat.
Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa para mujtahid diperbolehkan membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka pendapatnya yang lalu itu terdapat kesalahan. Ini adalah pendapat ulama yang mensyaratkan tetap terjadinya ijma’, meskipun para nujtahidnya sudah wafat. Apabila mereka belum wafat, maka diperbolehkan bagi masing-masing mereka membetulkan pendapatnya. Dan tidak terjadi ijma’, kecuali dengan kematiannya mereka selama dua masa dari pendapat mereka.
Adapun para mujtahid yang datang sesudah terjadinya ijma’ pada masa sebelumnya, maka mereka tidak berhak menyalahi dan menaskh ijma’ pertama. Sebab, ijma pertama itulah yang dinukilkan kepada mereka sebagai hujjah syar’iah yang wajib mereka amalkan, yaitu hujjah yang tidak mungkin salah. Maka mereka tidak boleh memperselisihkannya.
Dan telah jelas bahwa pendapat yang tidak membolehkan perubahan hukum yang telah dijma’kan, adalah jika ijma’ itu disandarkan pada kitab Al-Qur’an , sunnah dan qiyas. Adapun ijma’ yang ditegakkan diatas maslahat, menurut yang berpendapat demikian, maka mungkin dinaskh oleh hukum yang lebih kuat dan mungkin diganti dengannya, jika maslahah yang dipakai sandaran itu berubah. Dengan demikian, melanggar dan menyalahi ijma’ adalah haram. Melanggar ijma’ sama dengan menyalahi hukum Allah yang wajib diikuti.


[1] Sapiudin Shidiq. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hal. 62
[2] Khairul Umam. “Ushul Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hal. 75-78.
[3] Syekh Abdul Wahab Khallaf. “Ilmu Ushul Fiqih”. PT. Rineka Cipta, Jakarta : 1993. hlm. 49.
[4] Ibid.. hlm. 62.
[5] Amir Syarifuddin. “Garis-Garis Besar Ushul Fiqh”. Kencana, Jakarta : 2012. Hlm. 49.
[6] Ibid., hlm.75.
[7] Ibid., hlm 48.
[8] Khairul Umam. “Ushul Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hal. 78.
[9] Sapiudin Shidiq. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hal. 63

[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, ( Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah,tt.),hlm.47.
[11] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interoratma Offset, 2009), Cet. Ke-3, hlm. 125.
[12] Khairul Umam. “Ushul Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hal. 80-83.
[13] Sapiudin Shidiq. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hal. 65-67
[14] Ibid..hlm 67-68
[15] Shidiq, Sapiudin. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hlm. 67-68

[16] Khairul Umam. “Ushul Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hlm. 91.


DAFTAR PUSTAKA

Shidiq, Sapiudin. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011.
Umam, Khairul “Ushul Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000.
Wahab Khallaf, Abdul. “Ilmu Ushul Fiqih”. PT. Rineka Cipta, Jakarta : 1993.
Syarifuddin, Amir. “Garis-Garis Besar Ushul Fiqh”. Kencana, Jakarta : 2012.
Effendi, M.Zein, Satria. Ushul Fiqih”. (Jakarta: Fajar Interoratma Offset, 2009).


0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar