BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’
mengandung dua arti. Pertama, ijma’ dengan arti
ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Kedua,
dengan arti sepakat. Arti kedua ini terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat
Yusuf ayat 15.[1]
فَلَمّاَ ذَ هَبُو اْ بِهِ , وَأَ جْمَعُو اْ أنْ يَجْعَلُوْ هُ فيِ غَيَبَتِ
اْ لجُبِّ ... (يو سف : ه ا )
Artinya : Maka tatkala mereka membawanya
dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur ( lalu mereka masukkan dia)... (QS.
Yusuf : 15)
Pendapat Ulama mengenai pengertian ijma’ :
a.
Ibrahim ibn Siya Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah,
merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah,
sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang”. Akan tetapi, rumusan
Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi.
b.
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan
umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”. Rumusan Al-Ghazali
ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW yaitu
seluruh umat Islam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa
berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena
pada masa Rasululllah, ijma’ tidak diperlukan, sebab keberadaan Rasulullah SAW
sebagai syar’i (penentu/ pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’. Rumusan ini,
menurut Al-Amidi, tokoh ushul fiqih Syafi’iyyah, mengikuti pandangan imam
Asy-syafi’i yang menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan oleh seluruh umat,
karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah
apabila disepakati oleh seluruh umat.[2]
Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa ijma’
adalah :
إِ تِّفَا قُ جَمِعِ اْ لمُجْتَهِدِ يْنَ مِنَ اْ لمُسْلِمِيْنَ فىِ عَصْرٍ
مِنَ اْ لعُصُوْ رِ بَعْدَ وَ فَا ةِ ا لرَّ سُوْ لِ عَلَى حُكْمٍ مِنَ اْ لاَ
حْكَا مِ ا لشَّرْ عِيَّةِ ا لْعَمَلِيَّةِ
Artinya : “Kesepakatan seluruh mujtahid Islam
dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW akan suatu hukum syariat yang amali”.
Adapun secara istilah, Ijma’ ialah sepakat
para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap
hukum syara’, pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka
peristiwa itu dikemukakan kepada semua mujtahid diwaktu terjadinya. Para
mujtahid itu sepakat memutuskan/ menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu
dinamakan ijma’. Ijma’ mereka itu adalah suatu i’tibar terhadap suatu masalah.
Definisi ini adanya setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup,
maka dia sendiri yang menjadi sumber syar’i. Tidak ada penggambaran perbedaan
pendapat dalam syar’i dan tidak ada kesepakatan. Kesepakatan itu baru ada
apabila lebih dari seseorang.[3]
Dari definisi di atas ada beberapa kata
kunci yang harus diperjelas yaitu :
a)
Semua mujtahid, artinya bahwa ijma’ itu harus
disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada di antara mereka yang menolaknya pada
masa tersebut.
b)
Sesudah Nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih
hidup tidak ada ijma’. Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung
oleh Nabi.
c)
Hukum syara’, artinya kesepakatan itu hanya terbatas
pada masalah hukum amaliah (syara’) dan tidak masuk pada masalah akidah.[4]
2.2 Fungsi Ijma’
Dari beberapa bentuk hukum yang ditetapkan
melalui ijma’ dapat ditetapkan beberapa fungsi ijma’ :
1.
Memberikan arti yang pasti atas suatu lafaz nash atau
maksud yang pasti dari sebuah ayat Al-Qur’an. Banyak ditemukan dalam Al-Qur’an
lafaz tersebut ada yang telah disepakati ulama tentang arti dan maksudnya.
Kesepakatan itu disebut ijma’. Suruhan Allah untuk melaksanakan shalat
disepakati mengandung arti wajibnya shalat itu. Larangan Allah untuk berbuat
zina mengandung arti adanya hukum haram perbuatan zina itu. Kata “mewasiatkan”
dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 11 berarti “mewajibkan”. Ijma’ dalam bentuk ini
yang jumlahnya begitu banyak disebut kesepakatan dalam memahami nash Al-Qur’an
atau sunah Nabi.
2.
Meningkatkan kualitas sebuah Hadis Nabi dari bersifat
lemah atau zhanni menjadi bersifat kuat atau qath’iy. Umpamanya
hak warisan nenek atas peninggalan cucunya sebanyak seperenam, mulanay
ditetapkan oleh hadis yang lemah yang tidak diketahui adanya oleh Abu Bakar.
Setelah dikuatkan oleh dua orang sahabat lainnya akhirnya diterima oleh Abu
Bakar dan diterima secara sepakat oleh orang banyak. Hal ini berarti ijma’
ulama menjadikan hadis Nabi yang lemah tersebut menjadi kuat.
3.
Menetapkan hukum atas sesuatu yang tidak ada
landasannya sama sekali dalam Al-Qur’an atau Sunah.[5] Umpamanya
pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama ditetapkan melalui ijma’ yang
sebelumnya didahului oleh debat yang panjang dari para sahabat.
2.3 Syarat-Syarat dan Rukun ijma’
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat kita pahami
bahwa ijma’ mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak
dianggap ijma’. Begitu juga kesepakatan Islam yang belum atau belum mencapai
derajat mujtahid fiqh, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin
ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil
dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
2.
Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid
meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh
seorang mujtahid pun.
3.
Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama
mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan
hukumnya.
4.
Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi
sesudah Rasulullah SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam
hukum suatu perkara, ketika Nabi Saw masih hidup, maka kesepakatan mereka itu
tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i. Kesepakatan tersebut menjadi hujjah
jika mendapat persetujuan dari Nabi SAW. Sebab beliau sendirilah yang mempunyai
wewenang untuk membentuk syari’at pada masanya
5.
Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing
mujtahid dengan terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara
pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat.
6.
Hendaknya kesepakatan para mujtahid diatas satu
pendapat itu benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul
betul terjadi kebulatan pendapat atas suatu hukum.[6]
Dalam definisi dikatakan, bahwa sepakat
semua mujtahid Muslim pada suatu masa terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat
diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’ yaitu :
a)
Mujtahid itu jumlahnya lebih dari seorang. Karena
kesepakatan itu tidak akan terwujud kalau pemikiran yang dikeluarkan itu
jumlahnya tidak lebih dari seorang. Seluruh pendapat itu setuju terhadap
keputusan yang diambil itu.
b)
Adanya pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid secara
jelas dan terang-terangan baik dalam bentuk ucapan atau berupa perbuatan.
c)
Adanya kesepakatan atau kesamaan pendapat dari seluruh
mujtahid secara menyeluruh tanpa kecuali.[7]
d)
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang
bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
e)
Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan
atau hadis Rasulullah.[8]
2.4. Kemungkinan
Terjadinya ijma’
Jika
diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas
tiga periode, yaitu:
1. Periode Rasulullah SAW;
2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin
Khattab; dan
3.
Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum.
Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada
al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh
Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka
langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung
menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu
kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum
suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin
kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap,
yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan
penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa
mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa
khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun
pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin
masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin,
disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para
sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia
Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak
ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan
Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah
yang demikian.
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas
persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk
melakukan ijma’, bahan secara aktual
ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati
seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari
harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa siapa yang
mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta,
karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Olehsebab itu, menurutnya
sangat sulit untuk menngetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah.
Apabila ada orang yang bertanya apakah ijma’ itu ada dan secara aktual terjadi,
menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, jawaban yang paling tepat adalah “Kami tidak
mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini.”
Di samping itu, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ibn
Taimiyah (661-728H/1262-1327 M),dan Ibn Qayyim
al-Jauziiyyyah (691-751 H/1292-1350
M), keduanya ahli fiqh Hanbali, tidak menerima ijma’ kecuali ijma’
dilakukan para sahabat.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer,
seperti Muhammad Abu Zahrah, Al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khallaf, Fathi
Ad-Duraini (guru besar fiqh dan ushul fiqh dan ushul fiqh di universitas
Damaskus, Syiria), dan Wahbah Al-Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin
terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu
daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin,
karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada
satu tempat.
Dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ijma' tidak diperlukan pada masa
Nabi Muhammad SAW;
2.
Ijma' mungkin terjadi pada masa
Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah
Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman
sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang
telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu
serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
2.5 Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Para ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber
hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan sunah. Tak
ada ulama yang menolak keberadaan ijma’ sebagai sumber hukum. Posisi ijma’
sebagai sumber didasari oleh nas Al-Qur’an surat an-nisa ayat 59 :[9]
يَأَ يُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْاأَطِعُوْا
اللَّهَ وَأَطِعُواْ الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلآَمْرِ مِنْكُمْ فَأِنْ
تَنَزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ أِلَى اللَّهِ وَالرَّسُوْلِ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (NYA), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-qu’an) dan Rasul ( sunahnya)...
Kalimat kembalikanlah kepada allah dalam ayat tersebut yang
dimaksud adalah berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum
kepada Al-Qura’an. Dan kembalikan kepada Rasul-Nya adalah berdasarkan
sunah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’
yang berdasarkan pada qur’an dan sunah Rasul.
Lafaz ulil amri dalam ayat diatas mengandung dua pengertian
sebagaimna tafsir Ibnu Abbas :
a.
Penguasa
dunia seperti raja, presiden, atau umara
b.
Penguasa
agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama
Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi umat Islam, untuk
menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan hukum Allah. Terminologi
ijma’ dikaitkan dengan ulil amri di atas masuk kepada poin kedua yaitu mujtahid
atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. Kesepakatan
mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma’ yang mengikat bagi
umat Islam untuk diikuti. [10]
Kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum Islam didasari oleh
hadis Nabi yang menegaskan bahwa pada hakikatnya ijma’ adalah milik umat
Islam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil umat dalam memutuskan
hukum, tentunya mereka sebagai wakil umat tidak mungkin berdusta atau berbuat
kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum
suatu masalah maka keputusannya dianggap absah dan benar. Sebagaimana hadist Nabi
:
مَا رَ أَ ى ا لْمُسْلِمُوْ نَ حَسَنَا
فَهُوَ عِنْدَ ا لله حَسَنً (ر و اه أ حمد)
Artinya : “Apa yang dianggap baik oleh
kaum muslimin maka hal itu pun baik di sisi Allah SWT.” (HR.Ahmad)
Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh
Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku
kesepakatan hingga ijma’ itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat
untuk diikuti. Menurut mazhab Maliki,
kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa kesepakatan penduduk madinah
yang dikenal dengan ijma’ ahli madinah. Menurut kalangan syariah, ijma’ adalah
keepakatan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma’
sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan
menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ dianggap terjadi bila merupakan kesepakatan
seluruh ulama mujtahid. [11]
2.6 Kehujjahan
Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah
hujjah yang wajib diamalkan, dengan alasan :
1) Firman Allah surat An-Nisa’ Ayat 115 :
وَمَنْ يُشَا قِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُعْمِنِيْنَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلىَ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَ تْ مَصِيْرًا
Artinya : “Dan barang siapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia dalam neraka jahanam, dan jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.An-Nisa’: 115)
Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini
menunjukkan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang tak boleh diperselisihkan
sebagaimana tak boleh diperselisihkannya Al-Quraan dan Sunah. Sedangkan Amidi
mengomentari bahwa ayat ini merupakan ayat yang amat kuat petunjuknya tentang
kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah Imam Syafi’i berpegangan, sedangkan
Imam Ghazali berpendapat lain, yaitu bahwa yang dimaksud dengan “bukan jalan
orang mukmin” itu ialah tidak membantu dan membela Nabi.
2) Firman Allah surat An-nisa’ ayat 59 :
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا
أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَاُولىِ الاَمْرِ مِنْكُمْ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِ شَيْءٍ
فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman!
Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan Ulil amri kamu. Maka jika kamu berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul...”
Allah memerintahkan untuk menaati Ulil
Amri, yaitu mereka yang mempunyai spesialisasi dalam berbagai bidang
pengetahuan. Maka ulil Amri dalam urusan hukum adalah hakim, sedangkan dalam
memperkenalkan hukum allah dan mengistibatkannya adalah para mujtahid, dan
dalam berbagai ilmu disiplin ilmu pengetahuan adalah para pakar spesialis.
3)
Kesepakatan mujtahid dalam satu pendapat yang sebagian
pemikiran dan pengetahuan mereka berbeda, menunjukkan bahwa pendapat ini
merupakan kebenaran dan ketepatan yang benar-benar nyata, dan menunjukkan bahwa
tidak terdapat dalil yang menentangnya. Jika dalil itu ada, tentulah sebagian
mereka akan mengingatkannya dan tidak akan menghasilkan perbedaan di kalangan
mereka karena tidak semua anggota jemaah itu lalai.[12]
2.7 Macam-Macam
Ijma’
Ijma’
dilihat dari cara memperolehnya terbagi menjadi dua :
a)
Ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang menampilkan pendapat
masing-masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau
perbuatan (keputusan). Ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan pendapat
yang sama atas hukum suatu perkara. Ijma’ sharih ini menepati peringkat ijma’
yang paling tinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qath’i, sehingga umat
wajib mengikutinya. Maka para ulama sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma’
sharih ini sebagai hujah syar’iyah dalam penetapan hukum syara’.
b)
Ijma’ sukuti, yaitu sebagian mujtahid menampilkan
pendapatnya secara jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau
perbuatan. Adapun mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan apakah ia
menerima atau menolak. Oleh karena itu boleh bagi mujtahid untuk mengemukakan
pendapat yang berbeda setelah ijma’ itu diputuskan.
Tentang
ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau
tidak yaitu :
a)
Imam Syafi’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti
Ibnu Iyan dan Imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyataka, bahwa ijma’
sukuti dapat dijadikan hujjah, bila mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak
berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat.
b)
Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap
menganggapnya hujjah, sebagaimana halnya ijma’ qauli/amali.
c)
Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan
ijma’ sukuti hukumnya Zhanni dan kehujjahannya dzahiri bukan Qath’i.[13]
Ijma’ dilihat dari dalalahnya (petunjuk)
juga terbagi dua macam yaitu :
1)
Ijma’ Qath’i artinya, hukum yang dutunjuk sudah dapat
dipastikan kebenarannya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi dan tidak perlu
di ijtihadkan karena ijma’ qath’i ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam
menetapkan hukum suatu masalah.
2)
Ijma’ Dzanni artinya, hukum yang ditunjuk itu
kebenarannya masih bersifat dugaanatau masih diragukan. Karena itu, masih
terbuka untuk dipersoalkan lagi dan tidak tertutup untuk dikaji oleh para
mujtahid lainnya, sebab hasil ijtihadnya bukan merupakan pendapat seluruh
mujtahid.
Dilihat
dari para mujtahid yang memeloporinya, ijma’ terbagi menjadi enam bagian yaitu
:
a)
Ijma’ umat, ijma’ inilah yang dimaksudkan dengan definisi pada
awal pembahasan yaitu kesepakatan semua mujtahid di dunia Islam
b)
Ijma’ sahabat, yaitu persesuaian paham semua ulama sahabat terhadap
suatu urusan.
c)
Ijma’ ahl Madinah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahli madinah
terhadap suatu kasus. Ijma’ ini bagi imam
Malik adalah hujjah.
d)
Ijma’ ahl kufah, yaitu ijma’ yang dianggap hujah oleh imam Abu
Hanifah.
e) Ijma’
al-khulafah al-arba’ah, ijma’ ini dianggap hujah oleh sebagian ulama atas dasar hadis : عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ ا
لْخُلَفَا ءِ ا لرَّ ا شِدِ Artinya :“Kamu wajib mengikuti sunahku dan sunah khulafah al-rasyidin
sesudahku.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan
At-Turmuzi)
f) Ijma’
al-syaikhayn, yaitu persesuian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum, ijma’ ini
oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadis yang diriwayatkan oleh : اِ قْتَدُ وْ ا بِا لَّذِ يْنَ بَعْدِ يْ ا
بُوْ بَكْرِ وَ عُمرُ
Artinya : “Ikutilah atau teladanilah
kedua orang ini sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar.”
g)
Ijma’ al-itrah, yaitu persesuaian para ulama-ulama ahli Bait.
2.8 Sebab-sebab
dilakukan Ijma’.
Diantara sebab-sebab dilakukannya Ijma’
adalah :
1. Karena adanya persoalan-persoalan yang
harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash alqur’an dan sunnah
tidak ditemukan hukumnya.
2. Karena nash baik berupa Al-Qur’an maupun
as-sunnah sudah tidak turun lagi atau telah berhenti.
3. Karena pada masa itu jumlah mujtahis tidak
terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan
kesepakatan dalam menentukan status hukum persoalaan permasalahan yang timbul
pada saat itu.
4. Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan
dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
2.9 Berlalunya
Masa Ijma’ [14]
Permasalahan yang kerap dihadapi oleh ijma’
dihukumi masih berlaku jika masanya telah berlalu dan semua mujtahid yang ikut
dalam ijma’ ini sudah meninggal. Untuk menjawab hal tersebut dapat dilihat
pendapat para ulama sebagai berikut :
a.
Imam Ahmad bin Hambal, Abu Bakar Ibnu Al-Fauraq, dan
sebagian kecil ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa berlalunya masa dan
meninggalnya peserta ijma’ mengakibatkan ijma’ itu tidak berlaku lagi. Mereka
berlasan bahwa pernah terjadi penyimpangan terhadap hukum yang telah ditetapkan
oleh ijma’. Kasusnya adalah tentang “Ummul Walad ( sahaya perempuan )
yang telah dihamili majikannya. Menurut ijma’ hukumnya disamakan dengan hamba
sahaya biasa, sehingga ia dapat dijual dan tidak dapat dijual dan tidak dapat
merdeka dengan sendirinya jika majikannya mati.” Atas dasar ijma’ itu maka Umar
bin Khattab memerdekakan ummul waladnya. Ali berbeda pendapat dengan
Umar. Menurutnya bahwa ummul walad berbeda dengan hamba sahaya biasa. Ia
bisa merdeka dengan sendirinya jika majikannya telah mati.[15]
b.
Menurut jumhur ulama yang terdiri kebanyakan pengikut
Syafi’iyah. Abu Hanifah, Ulama kalam Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Mereka
berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua ulama mujtahid bukan
syarat tidak berlakunya ijma’. Artinya ijma’ masih tetap berlaku. Mereka
beralasan, karena kehujjahan ijma’ ini berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi.
Kedua sumber tersebut tidak lapuk dengan berlalunya masa. Dan mereka pun
beralasan bahwa hakikat ijma’ itu adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak
pada kesepakatan ini bukan pada meninggalnya peserta ijma’. Contoh kasus : “
Seseorang menemui abu Bakar untuk meminta keputusan hukum terhadap haknya untuk
mendapatkan warisan harta dari cucunya yang meninggal. Kemudian Abu Bakar untuk
menyuruh nenek itu pulang untuk menanti jawabannya dalam Al-Qur’an dan hadis
ternyata tidak ditemukan. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat.
Tampilah sahabat bernama Mughirah ibnu Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah,
keduanya mengaku mengetahui Nabi pernah memberikan hak bagi nenek sebanyak
seperenam. Berdasarkan bertia dua sahabat tersebut maka Abu Bakar menetapkan
warisan untuk nenek tadi sebanyak seperenam. Apa yang ditetapkan oleh Abu Bakar
ternyata tidak satupun sahabat yang menyanggahnya. Maka jadilah keputusan Abu
Bakar itu sebagai ijma’ yang tetap berlaku sampai sekarang.
3.0 Hukum
Mengingkari Ijma’ [16]
Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka
ijma’ tersebut tidak boleh dibatalkan dan dihapus (dinaskh) oleh orang-orang
yang telah berjima’ kepadanya. Sebab, ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah
syar’iah, yang wajib mereka amalkan. Dan sebaliknya, tidak boleh mereka langgar.
Ini merupakan pendapat ulama yang beranggapan bahwa ijma’ itu terjadi karena
suatu kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka
sudah wafat.
Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat
bahwa para mujtahid diperbolehkan membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika
menurut mereka pendapatnya yang lalu itu terdapat kesalahan. Ini adalah
pendapat ulama yang mensyaratkan tetap terjadinya ijma’, meskipun para
nujtahidnya sudah wafat. Apabila mereka belum wafat, maka diperbolehkan bagi
masing-masing mereka membetulkan pendapatnya. Dan tidak terjadi ijma’, kecuali
dengan kematiannya mereka selama dua masa dari pendapat mereka.
Adapun para mujtahid yang datang sesudah
terjadinya ijma’ pada masa sebelumnya, maka mereka tidak berhak menyalahi dan menaskh
ijma’ pertama. Sebab, ijma pertama itulah yang dinukilkan kepada mereka sebagai
hujjah syar’iah yang wajib mereka amalkan, yaitu hujjah yang tidak mungkin
salah. Maka mereka tidak boleh memperselisihkannya.
Dan telah jelas bahwa pendapat yang tidak
membolehkan perubahan hukum yang telah dijma’kan, adalah jika ijma’ itu
disandarkan pada kitab Al-Qur’an , sunnah dan qiyas. Adapun ijma’ yang
ditegakkan diatas maslahat, menurut yang berpendapat demikian, maka mungkin
dinaskh oleh hukum yang lebih kuat dan mungkin diganti dengannya, jika maslahah
yang dipakai sandaran itu berubah. Dengan demikian, melanggar dan menyalahi
ijma’ adalah haram. Melanggar ijma’ sama dengan menyalahi hukum Allah yang
wajib diikuti.
[1] Sapiudin
Shidiq. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hal. 62
[2] Khairul Umam. “Ushul
Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hal. 75-78.
[3] Syekh Abdul
Wahab Khallaf. “Ilmu Ushul Fiqih”. PT. Rineka Cipta, Jakarta : 1993.
hlm. 49.
[4] Ibid.. hlm.
62.
[5] Amir
Syarifuddin. “Garis-Garis Besar Ushul Fiqh”. Kencana, Jakarta : 2012.
Hlm. 49.
[6] Ibid., hlm.75.
[7] Ibid., hlm 48.
[8] Khairul Umam. “Ushul
Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hal. 78.
[9] Sapiudin
Shidiq. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hal. 63
[10] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, ( Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah,tt.),hlm.47.
[11] Satria
Effendi, M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interoratma Offset, 2009),
Cet. Ke-3, hlm. 125.
[12] Khairul Umam. “Ushul
Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000. Hal. 80-83.
[13] Sapiudin
Shidiq. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hal. 65-67
[14] Ibid..hlm
67-68
[15]
Shidiq,
Sapiudin. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011. Hlm. 67-68
DAFTAR PUSTAKA
Shidiq,
Sapiudin. “Ushul Fiqih”. Kencana, Jakarta : 2011.
Umam, Khairul
“Ushul Fiqh I”. CV. Pustaka Setia, Bandung : 2000.
Wahab Khallaf, Abdul. “Ilmu Ushul Fiqih”. PT.
Rineka Cipta, Jakarta : 1993.
Syarifuddin, Amir. “Garis-Garis
Besar Ushul Fiqh”. Kencana, Jakarta : 2012.
Effendi,
M.Zein, Satria. “Ushul
Fiqih”. (Jakarta: Fajar Interoratma Offset, 2009).
0 komentar:
Posting Komentar