Di atas tendon ini. Di kala senja, aku terduduk merenungi
kehidupanku. Mencoba membandingkan kehidupanku dengan kehidupan yang
lain di alam ini. Teduhnya senja membuat suasana hatiku lebih tenang.
Senja yang selalu bisa membuatku rileks. Senja yang selalu bisa membuat
suasana hati yang kalut menjadi plong. Senja yang selalu bisa membuat
jiwaku yang tertekan merasa bebas. Ya, bagiku senja adalah sahabat
sejatiku. Dan tidak pernah aku mendapatkan sahabat sejati yang
benar-benar senjati seperti senja.
Aku memandang lurus ke depan sana. Tampak hamparan luas alang-alang
yang menari di antara tiupan angin. Burung-burung bernyanyi berkejaran
bersama kawananya. Aku iri pada burung itu. Mereka begitu riang. Hidup
bebas tanpa tekanan dan tuntutan. Beda denganku yang selalu ketakutan
akan masa depan yang belum tentu akan terjadi. Aku hidup kaku dengan
aturan-aturan manusia yang kadang bagiku itu mekekang kebebasan. Aku
ingin seperti burung.
—
Katanya hidup dengan seribu sahabat itu kurang dan satu musuh itu
sangat membebani. Aku tak tahu apakah aku memiliki musuh atau tidak.
Tetapi untuk orang yang aku benci tentu ada. Orang yang kita benci bukan
berarti musuh. Tetapi musuh adalah jelas orang yang kita benci. Aku tak
suka dengan sifatnya bukan orangnya. Sementara mencari seribu sahabat,
aku sanksi. Aku tidak seperti kebanyakan pemuda pada umumnya. Aku takut
terhadap orang. Hal tersebut terjadi karena ketidak nyamananku berada di
dekat mereka. Ketidak nyamanan itu muncul akibat ketidak pedeanku.
Ketidak pedean itu muncul karena aku merasa berbeda, merasa memiliki
terlalu banyak kekurangn dibanding mereka. Bila berada di antara mereka
rasanya ada satu jarak yang membatasi diriku dengan mereka. Satu dinding
kasat mata yang seolah memisahkan dimensiku dari dimensi mereka. Dan
aku hanya bisa menyaksikan keakraban mereka tanpa bisa ikut merasakanya.
Itulah yang menyebabkanku sering merasa sendiri di tengah keramaian.
Aku penyandang asperger, itu diagnosaku setelah membaca di perpustakaan
google.
—
Jika bicara tentang persahabatan, walaupun aku takut terhadap orang,
bukan berarti aku tidak memiliki sahabat sama sekali. Aku memiliki
beberapa nama sahabat yang namanya ku ukir di hati. Sahabat yang susah
payah aku mendapatkanya. Bagaimana tidak, dari proses mengenal sampai
menjadi sahabat butuh waktu hingga bertahun-tahun. Tapi sayangnya, di
antara sekian nama yang aku ukir, hanya satu nama yang benar-benar masih
ada untuku. Sisanya entah kemana. Kadang aku merasa terbuang. Mereka
yang dulu selalu bersama, meninggalkanku yang kala itu terpuruk. Aku tak
tahu kenapa mereka menjadi seperti itu. Mungkin karena mereka terlalu
sibuk dengan kuliahnya atau mungkin hal lain sehingga tidak sempat
berkomunikasi lagi denganku. Atau kemungkinan yang terparah, mereka
memang membuangku. Mereka menganggapku hanya sahabat sambil lalu.
Pernah satu ketika aku menghubungi salah saatu sahabat terbaiku lewat
whatsapp. Dia adalah seseorang yang aku kagumi. Dari dialah aku
mendapatkan gelar “Skeptis”. Aku menanyakan kabarnya, dia membalas “Ini
siapa?”. Aku menjawab “Ini aku Sofyan Iskandar alumni IPA 1.” Tak ada
balasan sama sekali. Entah tak ada pulsa atau mungkin memang sengaja tak
membalasnya. Aku yakin dia sengaja tidak membalasnya. Bukan berburuk
sangka, aku mengatakan begitu karena memiliki alasan. Alasan pertama,
dia tidak pernah mengseve nomor Hpku padahal dulu sering chat. Baik di
whatsapp maupun di kakao. Ini dibuktikan dengan dia tidak mengenali
nomorku. Kalaupun ganti Hp itu bukan suatu alasan baginya mengabaikanku.
Kedua, dia tidak membalas chatku setelah aku menyebutkan namaku. Alasan
kedua adalah alasan penguat alasan pertama. Sunggung sakit hati ini.
Aku menganggap dia lebih dari seorang sahabat biasa. Tapi nyatanya dia
menganggapku… entahlah.
2010 adalah tahun paling kalut di hidupku. Aku kehilangan keluarga,
orangtuaku bercerai. Kami terpecah. Adiku yang memiliki mimpi menjadi
perawat harus mengkandaskan mimpinya. Dia memilih menikah karena tidak
ingin ikut dengan Mamah terlebih Bapak. Adikku yang kedua sekaligus
bungsu harus kehilangan kasih sayang yang utuh disaat dia sangat
membutuhkanya. Dia baru belajar berjalaan kala itu. Mamah, wanita tegar,
wanita yang senantiasa melakukan yang terbaik dalam perananya sebagai
seorang ibu dan istri memilih pergi ke Kalimantan. Aku sendiri, di
tengah kekuranganku, aku mencoba berjuang sendiri di kerasnya kehidupan
kota. Jangan tanyakan tentang mimpi masa depanku, karena mimpi itu juga
hancur dirampas oleh takdir. Sementara Bapak, dia yang paling bahagia
dengan perceraian itu. Dia akhirnya bisa bersatu dengan wanita salihah
selingkuhannya itu. Ya, Bapak pernah bilang kalau selingkuhannya itu
adalah seorang wanita salihah. Aku hanya ingin tertawa mendengar
perkataannya itu. Wanita salihah sama dengan wanita pengganggu
rumahtangga orang? Yang benar saja.
Kehilangan memang sesuatu yang menyakitkan. Dalam hidup ini, setiap
manusia pasti akan mengalaminya. Aku bukan saja kehilangan keluargaku,
mimpiku, akan tetapi aku juga kehilangan orang-orang yang aku anggap
sahabat. Ketika aku terjatuh, tak ada satu pun dari mereka yang mencoba
menyanggaku. Hati yang hancur semakin hancur. Aku tak tahu harus
melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit yang terus menggerogoti hati
ini. Akhirnya aku berubah. Ya, rasa sakit itu membuatku berubah. Aku
yang anti rok*k mulai bersahabat dengannya. Aku yang membenci minuman
keras mulai berkenalan dengannya. Sahabat-sahabatku yang mulai tahu
keburukanku itu berkomentar pedas akan hidupku. Dan aku tak peduli.
Selama ini mereka kemana? Ketika aku membutuhkanya, mereka tak ada.
Kenapa mereka datang. Datang dan pergi kembali. Karena setelah mereka
mencaciku mereka langsung pergi.
—
Malam kian kelam. Sekelam hatiku yang kian tenggelam oleh kelamnya
kesendirian, kelamnya kehampaan. Aku benci kepada mereka, Abdul, Bayu
dan Dedi. Tidur tenang setelah tadi tertawa-tawa bersama. Tiada sapaan
atau sekedar basa basi apalah. Mereka membiarkanku sendiri dalam
lamunan. Padahal kami tinggal sekamar di camp ini.
Aku menatap satu persatu wajah tenang yang aku benci itu. Ubay,
seorang pemuda berumur 20 tahun. Berkulit hitam manis. Pandai memikat
orang dengan tutur katanya yang sopan. Dia mampu menempatkan diri dengan
baik ketika berada di antara orang-orang. Dan aku membencinya karena
aku tidak seperti dirinya. Dedi, dia juga seumuran dengan Ubay. Tetapi
dia lebih kurus dan lebih pendek. Giginya gingsul di sebelah kiri. Dedi
adalah anak yang ramah. Dia murah senyum. Hidupnya lepas. Dan aku
membencinya karena aku tidak seperti dirinya. Yang terakhir adalah
Abdullah, dia paling sempurna di antara mereka. Jujur aku tidak ingin
membencinya. Malah aku ingin bisa dekat denganya. Dia adalah calon
sahabat sempurna di mataku. Abdullah juga berumur sama dengan Ubay dan
Dedi. Dia memiliki kulit putih. Rambutnya cepak. Badanya proporsional.
Dia rajin beribadah dan pandai mengaji. Sempat sekali waktu aku
mendengar tilawahnya. Rasanya pilu. Pilu karena aku tidak seperti
dirinya. Dia dekat dengan Tuhan sementara aku jauh. Dan itulah yang
membuatku membenci dia.
Entah setan apa yang merasukiku, atau mungkin diriku memang sudah
menjadi satu dengan setan. Bagiku, hidup mereka terlalu mudah. Aku akan
membagi rasa sakit yang selama ini bersarang menggerogoti hatiku kepada
mereka. Aku harus melakukan sesuatu.
—
Belati yang indah, belati kesayanganku. Aku mendapatkanya tiga bulan
yang lalu di sebuah toko penjual senjata tajam. Belati ini belum pernah
aku pakai sebelumnya, akan tetapi selalu ku asah setiap tiga hari sekali
dikala senja untuk menjaga agar dia tak dimakan karat. Dan aku ingin
menguji seberapa tajam belati kesayanganku ini.
Aku kembali melihat Ubay. Aku Mengecup keningnya sebagai tanda
perpisahan. Ku jilat sedikit bibirnya. “Maafkan aku bocah menyenangkan.
Aku bukan tak senang padamu. Tetapi aku hanya ingin berbagi rasa sakit
denganmu”. Aku mengangkat belatiku, mengarahkanya ke dada bidang Ubay.
Tepat mengenai jangtungnya. Aku segera membekap mulutnya dengan bantal
untuk meredam suara sekaratnya. Suara percakapan dia dengan malaikat
maut. Sekarang dia telah diam, kaku dan perlahan mendingin. Ku cabut
belati kesayanganku, belati kebanggaanku dari dadanya. Darah yang keluar
dari dadanya sungguh wangi. Berwarna merah segar. Aku mendekatkan
mulutku tepat di dadanya yang terluka. Ku hisap sedikit, lalu aku
menjilatinya sebentar. Nikmat sekali. Aku puas. Hahahaha… aku sangat
puas.
Kini giliran Dedi, anak gingsul yang ramah ini akan segera menyusul
temanya, Ubay. Ku pandangi sekali lagi dia. Kurus, pasti lebih mudah
untuk menghunuskan belati ini ke dadanya. Aku Mengecup keningnya sebagai
tanda perpisahan. Ku jilat sedikit bibirnya. “Maafkan aku gingsul. Aku
bukan tak senang padamu. Tetapi aku ingin kamu menemani Bayu. Karena
bukankah kamu pernah bilang bahwa bayu adalah sahabat sejatimu? Sudah
sepantasnya seorang sahabat sejati itu selalu ada di samping sahabatnya.
Kala senang maupun susah”. Aku tersenyum padanya seraya mengangkat
belatiku dan mengarahkanya ke dada kering Dedi. Tepat mengenai
jantungnya. Aku segera membekap mulutnya dengan bantal, sama seperti apa
yang ku lakukan kepada Bayu. Ku cabut belati kesayanganku, belati
kebanggaanku dari dadanya. Darah bocah ginsul itu mengalir deras.
Warnanya merah pekat, baunya segar. Aku mendekatkan mulutku tepat di
dadanya yang terluka. Ku hisap sedikit, lalu aku menjilatinya sebentar.
Darahnya yang merah pekat lebih gurih dari pada darah Bayu yang merah
segar.
Tinggal satu lagi. Bocah cepak yang rajin shalat dan pandai tilawah
ini. Aku pandangi dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki sekali
lagi. Ada satu rasa yang aku sendiri tak mengerti apa itu. Wajahnya
begitu teduh menenangkan. Ternyata dia terlihat lebih tampan ketika
tidur. Nafasnya teratur. Orang baik seperti dia pastiah diberikan mimpi
yang indah dalam tidurnya. Mimpi bertemu bidadari-bidadari. Tidak
seperti diriku, seringnya tidak bermimpi. Sekalinya bermimpi, bukan
mimpi indah yang aku dapati. Mimpi dikejar hantu lah, buaya lah,
diguna-gunain orang lah dan lain-lain yang tak kalah mengerikannya.
Aku Mengecup keningnya sebagai tanda perpisahan. Tetapi tidak kujilat
bibirnya. Aku melewatkan satu ritual itu. Aku tak berani. Ada sesuatu
yang menghalangiku, dan aku tak kuasa menembusnya. Tiba-tiba air mataku
menetes. Ada rasa pilu yang mengalir di dalam darahku. Ada rasa sakit
yang menusuk hatiku. Rasa takut kehilangan. Dia, bocah pelontos itu,
kenapa aku tak bisa? Dua bocah sebelumnya berhasil ku bunuh dengan
lancar tanpa satu kendala apapun. Tetapi dia…
“Maafkan aku… maafkan aku… Abdul… lah… aku tidak ingin kamu bersama
mereka. Aku ingin kamu menjadi sahabatku. Akan tetapi, aku lebih hina
dibanding mereka. Aku hanyalah seorang manusia yang menyesatkan dirinya.
Yang hatinya diselimuti kabut hitam nan pekat. Maafkan aku… aku harus
mempersatukanmu bersama mereka, Bayu dan Dedi”. Aku mengarahkan belati
pada dadanya. Setetes air mataku jatuh tepat ke bibirnya. Terhisap
olehnya. Aku memalingkan wajahku.
Allahu Akbar… Allahu Akbar
Allahu Akbar… Allahu Akbar
Suara adzan subuh berkumandang.
Asyhadu Alla Ilaha Illallah
Asyhadu Alla Ilaha Illallah
Syahdu dan merdu ditengah heningnya pagi.
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Tanganku berhenti bergerak
Hayya’alash Sholah
Hayya’alash Sholah
Bibirku terkunci, hatiku bergetar hebat.
Hayya’alal Falah
Hayya’alal Falah
Pilu. Mata ini semakin deras mengucurkan air mata.
Ashalatu Khairum Minan Naum
Ashalatu Khairum Minan Naum
Ada rindu yang membuncah. Merasuk qalbu.
Allahu Akbar… Allahu Akbar
Lailaha Ilallah
Ada penyesalan yang teramat dalam menusuk hati.
Aku ingin kembali
Kembali padaMu wahai Tuhanku
Tiba-tiba aku tersadar dari keterpesonaanku terhadap adzan subuh
tadi. Hati yang sempat dingin, bergolak kembali. Putih yang sempat
menyelimuti, tenggelam kembali. Hitam kian bertahta menjajah hati.
Misiku belum selesai. Aku tak bisa membiarkan Abdullah hidup. Dia akan
membuatku sengsara. Dia pasti akan melaporkanku ke polisi. Ku tarik
nafas dalam-dalam, ku keluarkan perlahan, berat… berat sekali. Ku tutup
mataku dan ku hunuskan belati itu tepat ke jantungnya.
—
Mataku terbuka. Cahaya lampu mebuatku harus sedikit menyipitkan mata.
Aku tak tahu apa yang terjadi tadi. Samar-samar aku melihat sesosok
pemuda. Abdullah, ya Abdullah. Dia tersenyum padaku. Senyuman manisnya
yang juga membuatku iri. Apakah tadi aku belum membunuhnya? Ataukah
Abdullah yang berada di depanku adalah arwah yang ingin balas dendam?
Badanku mendadak dingin. Bulu kuduku berdiri. Dia terus menatap lekat
mataku. Tersenyum padaku. Belati, di mana belatiku. Ku lihat tanganku,
tidak ada darah. Tanganku bersih. Aku cubit pipiku, rasanya sakit. Dia
tertawa. Apa yang dia tertawakan? Apakah ada yang lucu denganku? Ataukah
dia senang melihat diriku yang ketakutan ini? Tetapi, kalau dia hendak
membalas dendam, mengapa tatapanya itu teduh? Aku tidak merasa dia
mengintimidasiku. Dia terlihat manis seperti biasanya. Ahhhhhh…
“Kang.. Kang, bangun! Ini Abdullah.”
“Dari semalam badan Akang panas. Aku, Bayu dan Dede gantian jagain
Akang. Syukur kalau Akang sudah bangun. Itu artinya Akang sudah baikan”.
“Panas? Baikan? Kamu? Kalian? Jagain Akang?”
“Yupe.”
“Kamu jangan berpura-pura membohongiku. Jika kamu ingin balas dendam,
bunuh saja aku. Aku juga sudah bosan hidup. Jangan berpura-pura baik
lalu menerkam. Aku gak suka”.
“Astagfirullah, Kang. Eling, buat apa Abdul bunuh Akang. Apa untungnya coba? Akang mimpi buruk ya?”
“Mimpi buruk?”
“Ya mimpi buruk.”
Aku terdiam kaku. Tak ada niat sedikitpun tuk bangun. Semuanya membuatku
pusing. Jika tadi adalah mimpi, mengapa semuanya terasa begitu nyata.
Mengapa aku sangat menikmatinya. Jika saat ini adalah nyata, mengapa
mereka begitu baik. Bergantian menjagaku yang sakit. Tadi sore aku
memang tak enak badan. Tetapi aku tak tahu kalau malam tadi demamku
semakin tinggi.
Tiba-tiba Abdul bangkit, dia mengulurkan tanganya.
“Shalat yu!”
“Shalat?”
“Ya, shalat!”
Dia mengajaku shalat. Apakah tidak salah? Tiga tahun setengah, semenjak
kedua orangtuaku berpisah, aku tidak mau lagi mengenal kata shalat. Aku
kecewa kepada Tuhan. Aku merasa Dia tak adil. Sekarang, anak ini,
Abdullah, mengajaku shalat? Padahal dia tahu sendiri kalau aku tak
pernah shalat.
“Kang…”
Dia membuyarkan lamunanku. Tanganya masih terulur untuku. Rasa apa ini? Aku seperti ingin meraihnya.
Kini, tanganya telah menggenggam tanganku. Hangat, nyaman, rasanya hati
yang kosong ini penuh terisi. Aku tak ingin tangan ini berpisah.
Setidaknya dalam jangka waktu lama.
Dia menuntunku ke kamar mandi.
“Kang, Akang yang duluan wudhu ya. Aku mau bangunin Bayu sama Dedi dulu.
Kasihan mereka kalau gak dibangunin. Nanti shalatnya berjamaah. Akang
masih ingatkan do’a wudhu?”
Aku hanya mengangguk. Walaupun sudah tiga setengah tahun aku tak shalat, aku masih ingat do’a berwudhu.
—
Aku, Bayu dan Dedi berdiri di belakang Abdul. Dia yang menjadi imam kami.
“Aku lupa do’a kunut”. Celetuku
“Do’a kunut kan sunat, jadi kalaupun gak dipakai, ya gak apa-apa”
Aku mengangguk.
“Ushali Fardhash-Subhi Rak’ataini Mustaqbilal-Qiblati ada’an Ma’muman
Lillaahi Ta’aalaa. Allahu Akbar”. Aku mengangkat kedua tanganku kemudian
meletakanya di dada.
—
Tenang, itulah yang aku rasakan saat ini. Ridu yang selama ini
terkubur bangkit kembali. Aku merasa lebih ringan. Ketika shalat dan
berdo’a tadi, air mataku bercucuran tanpa henti. Mungkin aku kelihatan
cengeng di mata mereka. Tetapi aku tak peduli. Yang terpenting buatku
adalah, aku bisa merasakan kerinduan yang sekian lama terpendam ini.
“Kita ngaji dulu yah!” ajak Abdul.
“Boleh…” Bayu dan Dedi kompak
“Surah apa?” tanya Dedi
“Menurut Kang Iskandar, kita mengaji apa hari ini?” Abdul meminta pendapatku
“Terserah kalian saja.” Jawabku
“Ayolah Kang, sekarang anggap saja hari spesial Kang Iskandar. Jadi, kita mau mengaji surah apa?” bujuk Abdul
Aku berfikir sejenak. Coba mengingat-ingat sesuatu.
“Hmmm… waktu aku kecil dulu, setiap malam jum’at, aku dan guru ngajiku
selalu membaca sepuluh ayat pertama surah At-Kahfi dan Surah Yasin.
Tapi, hari ini kan minggu pagi.”
“Mengaji iu tak pandang hari, Kang. Ga ada aturanya juga harus ngaji surah ini di hari ini.” Abdul tersenym kepadaku
Kami mulai mengaji. Abdul yang memimpinya. Tilawah pagi ini menyempurnakan pelepasan rinduku kepada Tuhan.
Mulai pagi tadi, aku dan mereka resmi bersahabat. Aku menceritakan semua
mimpiku dan keluh kesahku kepada mereka. Mereka memang pendengar yang
baik. Mereka bukan hanya sekedar bersimpati kepadaku, tetapi juga
berempati. Dan aku baru sadar akan sesuatu tentang diriku. “Bukan mereka
yang menjauhiku, bukan pula mereka yang tak mau menjadi sahabatku
selama ini. Akan tetapi aku yang terlalu menutup diriku sehingga mereka
tidak bisa menjangkaunya”. Harapanku, persahabatan yang diawali dengan
indah ini akan berakhir dengan indah pula. Amin.
End
Sedikit celoteh* untuk sahabatku
Sahabat, sedang apa kalian di sana? Apakah pernah satu ketika kalian
merindukanku seperti aku yang sering merindukan kalian? Apakah pernah
satu ketika kalian memikirkanku seperti aku yang sering memikirkan
kalian? Apakah pernah satu ketika kalian mengenang kebersamaan kita dulu
seperti aku yang selalu mengenangnya? Apakah kalian mengukir namaku
seperti aku yang mengukir nama kalian?
Sahabat, bagaimanapun sikap kalian kepadaku saat ini, kalian adalah
sahabatku, dan tetap akan menjadi sahabatku. Aku akan tetap merindukan
kalian, memikirkan kalian, mengenang kebersamaan kita dulu dan aku
takkan pernah menghapuskan nama kalian di hati ini. Percayalah, karena
ini janji seorang sahabat sejati untuk sahabat sejatinya. Aku cinta
kalian semua.
*Kata celoteh aku pinjam dari sahabatku, Lalila. Di setiap syair indah yang ia tulis, celoteh selalu ada menghiasinya.
Dariku yang merindu sahabat, Kang Zaen